Jumat, 20 Januari 2012

Harga Manusia

Beribu kali mendengar apa yang disebut dengan manusia mekanik, sekrup, onderdil, hantu rutinitas yang labil. Tapi kalau melihat, apalagi mengalami sendiri, Anda akan mengerti apa artinya jiwa yang tak sempat bernafas. Di situ makna tertinggi kemerdekaan tersingkap dari rok yang berkibar. Membayangkan kebebasan itu siksaan, membayangkan penjara itu orgasme tersendiri.

Mungkin Anda hanya harus duduk dan menatap layar komputer selebar bahu. Begitu ringannya pekerjaan itu, tetapi satu dua jam saja cukup untuk mengerti apa arti neraka, apalagi ketika sebagian mulai naik pitam dan mempertanyakan kemampuan otak Anda. Atau Anda cukup mengontrol gerak beberapa orang agar tidak ‘anarkis’ keluar dari barisan, maka jadilah Anda pemain silat yang lihai sepanjang hari.

Di dalam derap rutinitas yang labil, seakan tak ada ruang sejengkal pun untuk mengganti suplai udara ke paru-paru dan napas bagi jiwa. Anda tidak tahu dimana sebenarnya Anda berada selama dua belas jam sehari itu. Dan kalau itu harus berlangsung sepanjang hidup, 30tahun masa dewasa dan usia baya, Anda bisa gila. Liburan, bir, film porno, musik bising yang menenangkan dirasa amat penting. Di masa tua Anda akan menjadi bijak atau terus mengomel sendiri sepanjang perjalanan pulang, bertambahnya usia akan menumpukkan ancaman.

Orang terlanjur terlau jauh membebaskan diri dari ‘neraka yang lain’. Individu disebut sedemikian rupa sampai pada taraf yang membuat semua orang kaget tercengang – bahwa sesungguhnya banyak bagian dari dirinya yang justru ditemukan pada orang lain. Santunan kepada individu tidak diserahkan kepada manusia tetapi kepada sistem sosial- yang kini semakin anggun, mewah, dan berperingkat tapi tak mampu menyodorkan kehangatan. Maka makin tua, Anda akan makin cemas; bukan kelaparan atau mati kedinginan tapi akan selalu termangu dan bertanya:

Untuk siapa dan apa gerangan aku bekerja keras hampir sepanjang hidup, jika akhirnya harga manusiaku makin sayup dari keberadaanku?

Barangkali itu salah satu alasan orang bisa patah hati pada model kemakmuran itu. Dengan kemakmuran orang sesungguhnya membayangkan suatu wadah dan energi untuk kehangatan dan cinta kasih tapi yang terjadi adalah suatu bangunan besar kesejahteraan yang memojokkan. Manusia hilang, sesudah dipertarungkan dengan sistem bagaimana megorganisasaikan kerja dan sumber dayanya, hubungan produksi dan kapasitas produksi, saling silang supply dan demand, kini sejarah terus ditantang oleh komplikasi kinerja, penilaian kinerja, dan upah kinerja.

Selalu ada yang sangat makmur, yang makmur, agak makmur, dan jauh dari kemakmuran, sementara pemerataan itu bayangan yang tak jelas sosoknya. Untuk siapa gerangan aku bekerja keras? Jika rabun-tidaknya mataku, jika tenaga tubuh dan keterampilan tanganku diukur persis nilai kapasitas produksinya, laju kebugaran yang menurun semakin dipercepat dengan boncengan laju kebahagiaan, momentum tumbukannya terlalu liar.

Tapi jangan bayangkan surga karena ada sekelompok kecil manusia yang hanya bisa lahir dai kejenuhan rohaniah terhadap gemerlap disekitarnya. Lalu seperti apakah keluhuran nilai yang diharapkan?

Sebentar lagi, giliran naga air yang menjawab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar