Rabu, 01 Februari 2012

Rolling On The Floor Laughing

Suratman, Sugiman, Suparman, sampai matinya tak tahu bahwa nasibnya, bersama nasib 900 juta rekannya di dunia, telah beribu kali didiskusikan, diseminarkan, dikonferensikan. Bahkan sehabis Dr. Soedarno Soemarto, Dr. Vivi Alatas, dan Prof. Mardiasmo berdiskusi dengan akrabnya di Yogyakarta, di tempat lain berliter wine dituang dari botol-botol ke gelas-gelas manis, dan "cheers! Wine toast!! … untuk kaum miskin di bumi manusia”. Seluruh pcserta meneguknya, meletakkan kembali gelasnya, dan bertepuk. Orang terharu, berpeluk-pelukan, hampir menitikkan air mata, menghayati kemiskinan, baik yang mutlak maupun yang sedang-sedang. Seandainya bunyi tepuk tangan terhadap kaum miskin direkam dari seminar demi seminar, dari Semarang sampai Birmingham, dibutuhkan ribuan terra harddisk sejumlah orang miskin di dunia sendiri. Dan golongan miskin pun akan menjadi kenyang. Jangan kasih rekaman diskusinya, sebab kemungkinan besar mereka bingung. Bagaimana menerangkan bahwa, setidaknya, ada guratan dari wajah seminar-seminar semacam itu yang klise? Bahwa beratus ribu kata dalam konferensi itu terbang bagai pawai burung di angkasa, yang sesudah letih melanglang buana begitu sukar menemukan dahan pepohonan atau kebun untuk hinggap?

Pernahkah diteliti berapa jumlah sarjana, master, dan doktor yang dihasilkan oleh tema kemiskinan, penindasan, keprihatinan? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang dilakukan para sarjana kemiskinan itu dengan usaha memerangi kemiskinan? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat makin banyaknya para piawai yang makanan utamanya masalah kemiskinan? Seberapa jauhkah orang miskin bukan merupakan barang jualan baru bagi para intelektual-karieris? Pertanyaan semacam ini memang lahir dari bakat berprasangka buruk. Beberapa intelektual pusing tujuh keliling, suntuk mencari metode pembangunan demokratik, dan memaket beratus wejangan yang entah bagaimana nasibnya di gerbang pintu imperium bumi maupun bagian-bagiannya. Tapi kita tak putus asa. Dari sebuah tempat di Bumi Latin, kita kukupi kepingan itu, kita lemparkan kembali ke gerbang istana – memberi rekomendasi hampir ke seluruh kementerian, untuk menaburkan puluhan ton koin bagi usaha-usaha pembebasan segala bidang di negara-negara Dunia Ketiga.

Untuk itu kita perlu diskusi kebudayaan dan pembangunan empat hari. Dimulai dengan memperdebatkan kembali definisi kebudayaan versi Prof. Koentjaraningrat, cukup buntu karena para seminaris ini manusia-manusia ontologis, sedang jutaan orang yang diperbincangkan itu manusia lingkungan lumrah. Akan kita paksa mereka membebaskan diri dengan cara kita. Kemudian, tentulah, ditelusuri segala segi proses pembebasan ekonomis, sosial budaya, politis. Klise pengkelasan sosial ekonomi kita putar lagi: hari ini makan kaga? Besok makan kaga? Besok makan apa, enaknya? Besok asiknya makan di mana? Besok sebaiknya makan siapa?? Di hari keempat, dipersiapkan lunch yang bukan main mewah penuh warna-warni, dan artistik. Untuk itu diperlukan klise baru. Saudara-saudara, entah makanan ini tergolong kelas berapa, tapi toh ini khusus kalau seminar saja. (Seseorang membisikkan klise: Wah, beginilah kita, kering mulut mendiskusikan kemiskinan dan penderitaan, lantas pesta). Kemudian klise lagi: makan, berdikit-dikit, estetis, tapi kenyang. Tertawa, ngobrol, memperdebatkan teori dan terapan. . . Faaantastic! Isn't it?"

Inti diskusi itu adalah diskusi itu. Inti seminar itu adalah seminar itu. Bagus sekali diskusi kita, pemilihan orangnya cocok dengan temanya, cukup beragam sehingga tidak stereotip, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan, terfokus tetapi longgar, dinamis. Sukses. Selamat, selamat.. Lalu kita menata pakaian, mengangkat kopor, berpelukan satu per satu. Lusa kita mendapat undangan seminar yang lain. Dan Suratman, Sugiman, Suparman, Hanoman masih setia dengan kartu domino, rokok, dan minum Lapen sampai ketawa ngakak guling-guling di lantai gardu…

Lah ko ada Hanoman?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar