Selasa, 03 Januari 2012

Ibu Perpustakaan

Sudah sekian tahun -cukup lama memang- dia dalam kedudukannya yang sekarang, dan dia merasa ayem dan mantap. Dia sudah cukup puas dengan pekerjaannya, dengan staf dan seksi yang dia bina. Pekerjaan apa pun, kantor mana pun yang sejenis, tidak luput dari pelbagai permasalahan, terutama kekurangan dana. Namun di pihak lain, dia melihat berbagai rencananya dapat diterapkan juga. Ada kalanya, dengan diam-diam, hatinya dihinggapi rasa bangga. Dan pimpinannya begitu baik. Pada suatu hari atasan yang baik itu, dengan segala kemurahan hati, mengingatkannya bahwa kenaikan golongannya sudah perlu diurus. Jangan ditunda-tunda lagi. Semua persyaratan sudah mencukupi. Konduitenya begitu baik dan kemampuannya--kemampuan memimpin dan kemampuan akademis - jelas di atas rata-rata. Dua tahun yang begitu panjang dia melanjutkan studi di luar negeri, meninggalkan anak dan suami, mendapatkan gelar M.A. dalam bidang perpustakaan dari sebuah universitas yang terkemuka, lalu kembali ke Tanah Air dengan hasil yang gemilang. Dua gelar kesarjanaan, dari dalam dan luar negeri, sudah mengapit namanya. Di atas semuanya itu, memang dicintainya profesi itu. Dia pikir, bangsa yang menghargai penalaran, harus menghargai perpustakaan. Jantungnya di situ. Pada berbagai instansi di Indonesia, perpustakaan termasuk satu seksi dari para Tata Usaha. Di situlah tragedinya. Tragedi struktur organisasi. Tragedi penalaran. Kepala perpustakaan tidak berdiri sendiri, tidak dibuat sederajat dengan Tata Usaha. Ia tidak langsung di bawah pimpinan. Berbagai rapat yang penting tentang perpustakaan tidak dihadiri oleh kepala perpustakaan.

Dalam perkembangannya, seksi perpustakaan menjadi tempat buangan pegawai. Kalau ada pegawai yang dianggap kurang beres, suka bertingkah, wataknya kurang beres atau otaknya kurang, terminalnya di perpustakaan itu. Semacam limbah. Sebaliknya, kalau ada sesuatu yang perlu diambil, ambil sajalah dari perpustakaan. Percaya atau tidak, ada kepala perpustakaan yang tidak tahu apa-apa tentang perpustakaan dan tidak tertarik dalam soal perpustakaan. Soalnya, ada pegawai yang perlu diberi kedudukan, maka sesudah lewat berbagai pertimbangan yang bijaksana, dyadikanlah dia kepala perpustakaan. Kesasarlah dia ke sana tetapi menjadi lebih terhormat.

Percaya atau tidak, ada perpustakaan yang cukup besar yang buku-buku koleksinya belum dikatalog. Hanya ada lemari katalog yang anggun di tengah ruangan, tanpa berisi kartu pengarang buku, kartu judul buku, apalagi kartu indeks. Begitu banyak kisah yang memilukan tentang perpustakaan di negeri ini. Kisah proses pembelian buku yang cukup rumit. Uang yang datangnya terlambat lalu perlu dibelanjakan dengan terbirit-birit. Hangus kalau lewat waktunya. Untuk menghabiskan dana yang sedikit itu, adakalanya harus dibeli buku-buku yang kurang atau tidak diperlukan. Kiriman dari luar negeri dipajaki pula, meskipun itu hadiah. Runyam. Buku-buku yang sudah dipinjam bertahun-tahun lalu tidak dikembalikan lagi. Jumlahnya tidak sedikit. Staf perpustakaan tidak berani menagih dan memperingatkannya. Nanti konduite menjadi merosot. Ada perpustakaan yang tidak mampu membalas surat-surat lantaran tidak ada dana untuk prangko. Tata Usaha miskin, lantas anaknya, seksi perpustakaan, lebih miskin lagi. Ada kisah yang tersendiri perihal perpustakaan yang banyak kehilangan kursi. Tinggal sederetan meja kesepian yang tersisa. Ceritanya, jika staf baru kekurangan kursi, diambillah kursi dari perpustakaan.

Ibu kepala perpustakaan kita ini hanya bisa mengelus dada -yang sudah agak kendor karena ironi yang dihadapinya- . Berbagai masalah tersebut dapat dia atasi berkat ketangkasannya dan juga minat atasannya yang besar terhadap perpustakaan. Apa yang bakal terjadi kalau dia naik pangkat? Kalau dia naik pangkat, naiklah eselonnya: kenaikan itu otomatis diiringi oleh berbagai fasilitas yang menggiurkan. Kebetulan ada hak atas rumah, yang akan lebih besar daripada flat yang dia tempati sekarang. Lalu ada hak atas kendaraan roda empat beserta seorang sopir yang juga bisa disuruh ini itu untuk memperlancar urusan rumah tangga. Bisa antar jemput anakanak. Pendapatan jelas bertambah. Namun, dia sudah memutuskan tidak naik pangkat. Tidak. Dia sudah merasa ayem dan mantap sebagai kepala perpustakaan saja. Naik pangkat berarti memimpin bermacam-macam seksi yang tidak dia kuasai permasalahannya. Lebih terhormat memang, dan lebih gengsi. Tapi ia terpental dari seksinya, dari bidang yang seluk-beluknya betul-betul dia kuasai. Seksi yang begitu vital bagi bangsa yang menghargai penalaran. Terpental dari pekerjaan yang dinikmatinya. Terpental dari keahliannya sendiri. Sekali lagi tidak. Tidak usah naik eselon. Hatinya tidak tergoyahkan oleh rumah, mobil dan embel-embel yang lainnya itu. Dia tidak mau terseret menjadi makhluk kesasar tapi terhormat...
Ahh,, masa iya?


-pramuditya.kurniawan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar