Rabu, 15 Februari 2012

Relativisme Ndak Tentu

Bukan hanya karena kebanyakan watak orang Madura termasuk saklek, efektif, dan memiliki kecenderungan anti eufimisme. Mereka juga memiliki hobi mengucapkan “tidak tentu” – yang dilogatkan menjadi ndak tentu, adat ini telah membuat saya jatuh hati.
Ndak tentu merupakan perwujudan dari kesadaran terhadap relativitas. Pada prakteknya, ungkapan tersebut boleh dibilang sebagai bentuk kehati-hatian yang tinggi terhadap berbagai ketidakpastian hidup. Dengan bersikap ndak tentu, mereka akan lebih terjaga di antara dua kutub nilai atau keadaan yang bisa menjebak. Kesadaran ndak tentu membuat mereka tidak terlalu mabuk gembira jika memperoleh rezeki ataupun stress berkepanjangan jika tertimpa musibah.
Dulu saya kurang percaya dengan hobi ndak tentu, sebab yang sering saya dengar hanya jokes kurang bermutu. Misalnya, pernah menjelang akhir tahun 2011 silam ada seorang petugas survey mendatangi pasar ikan hias di jalan Sumenep Jakarta Pusat, dia bermaksud mengetahui tingkat nasionalisme wong cilik di daerah tersebut.
Petugas tersebut bertanya, “Cak, siapa Presiden Indonesia sekarang?”
Sambil menata tanaman air, si pedagang menjawab sekenanya, “Ooo, ndak tentu Pak..”
Serasa ditonjok jidatnya, si petugas terus mengejar bertanya, “ndak tentu bagaimana?” Pertanyaan tadi adalah pertanyaan paling mudah di seluruh nusantara, dan jawaban ndak tentu sungguh harus diwaspadai.
“yaa kadang-kadang Mario Teguh, kadang-kadang Sule OVJ, pokoknya ndak tentu pak, aku cuma liat gambar yang sering nongol di tivi” jawab si pedagang ikan hias.
Pecah isi kepala, si petugas survey mulai naik pitam, “Trus kalau Pak Karno itu siapa?”
Dengan tenang si pedagang ikan hias menjawab, “Ooo, laeenn, Pak Karno bukan presiden tapi rajaaa!”
Jokes tadi tidak saya setujui karena hendaknya kita jangan saling meremehkan di antara sesama anak bangsa. Tapi beberapa waktu lalu dengan menunggangi kuda besi dan berbekal rasa kenyang hasil traktiran bakso calon pemgusaha konveksi, saya berkunjung ke kampus Bintaro dan secara tidak sengaja bertemu dengan kawan lama yang blasteran Madura-Surabaya dan legenda ndak tentu itu nongol di depan hidung saya.
Di tengah obrolan saya dengan sang kawan tadi tercetuslah topik tentang sistem perekonomian syariah, mungkin karena sedang musim pemikiran reaktualisasi ajaran Islam. Si kawan tertawa dan menepis, “Ahh, kodok nunggang kebo! Buat apa ngurusi kaya begitu, hukum makan minum aja kita belum fasih”
Saya membantah, “Lho kan jelas, makan minum itu hukumnya mubah!”
Sang kawan tertawa lagi, “Ooo, ndak tentu Dit”
Selain kaget oleh ide jawaban tadi, saya juga terhenyak oleh kata ndak tentu. “Ndak tentu gimana? Hukum ko ndak tentu?!” tukas saya.
“Ya ndak tentu, kalo kamu ndak makan berarti telah menghina ragamu yang merupakan titipan Tuhan, kecuali kamu bisa hidup tanpa makan. Lha kalo makan minum berlebihan baik jumlah maupun ‘estetikanya’ itu lebih beda hukumnya. Apalagi kalau makan punya orang, makan jembatan, kayu hutan, perkebunan, minum bendungan,,,” ajawab kawan saya.
“Wasssyyuuu,, gawean pemeriksa ga usah dibawa kemari” potongku kesal.
Mungkin benar jika hukum seharusnya bersifat parsial-statis, tapi mulai hari itu saya setuju bahwa hukum itu bersifat kontekstual-dinamis. Kalau bahasa Maduranya ya ndak tentu.


Jumat, 03 Februari 2012

KamuLuYou

Merupakan hal lumrah untuk maksud yang sama kita kadang menggunakan kata atau sebutan yang berbeda.  Contohnya, untuk kata ganti orang kedua bisa menggunakan kata Anda, Saudara, Kamu, Lu, atau dengan menyebutkan nama di belakang sebutan Bapak, Ibu, Saudara, (Bapak Suratman, Ibu Suprapti, Saudara Sugiman) atau sebutan lainnya.  Pilihan kata atau sebutan tersebut seringkali tergantung pada konteks komunitas lingkungan dimana komunikasi tersebut dilakukan.

Dalam konteks komunitas informal seperti pergaulan di kampus atau persahabatan orang dewasa di rumah, sekolah, bengkel, mall atau di tempat-tempat umum lainnya biasanya digunakan pilihan kata-kata pertemanan Kamu-Aku atau Lu-Gue. Dalam konteks komunitas yang bersifat formal seperti dalam acara rapat/pertemuan di kantor atau kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat  biasanya menggunakan kata Anda, Saudara, atau nama di belakang sebutan Pak/Bapak, Bu/Ibu, atau Saudara.

Terasa aneh ketika kata-kata yang biasa digunakan dalam konteks informal, misalnya kata “kamu”, kemudian digunakan dalam konteks  formal. Sekarang coba bayangkan seandainya kita mempunyai seorang atasan baru yang masih berusia muda dan mempunyai kebiasaan menyebut “kamu” kepada setiap stafnya, termasuk kepada mereka yang lebih tua, dalam forum pertemuan resmi di kantor. Pertanyaan yang mengusik saya, mengapa orang sering merasa bahwa harga diri dan martabatnya seakan direndahkan oleh ucapan “kamu” oleh sang atasan? Selain itu, mengapa sang atasan tetap mempertahankan kebiasaan tersebut meskipun dia tahu semua atau sebagian besar stafnya tidak menyukainya?


Sesuatu yang tidak biasa cenderung akan menarik perhatian.

Energi emosi akan berkumpul di satu titik. Ketika sesuatu itu merupakan hal yang menyenangkan maka manusia akan (melepas energi emosi dan) merasakan kesenangan yang luar biasa. Sebaliknya, ketika sesuatu itu merupakan hal yang menyakiti perasaan maka manusia pun cenderung akan merasakan kesedihan (kebencian?) yang luar biasa pula.  Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa ucapan “kamu” sebenarnya bisa mempunyai makna yang berbeda, tergantung pada intonasi suara dan bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh orang yang mengucapkannya. Kita bisa dengan mudah membedakan makna ucapan “kamu” dalam kalimat “Nduk, kamu harus tetap tegar menghadapi cobaan hidup ini” yang diucapkan oleh seorang Bapak kepada anak perempuannya dan kalimat “Kamu harus ingat bahwa untuk masalah yang satu ini saya tidak pernah main-main” yang diucapkan oleh seorang atasan kepada stafnya.

Ada satu lagi yang perlu diperhatikan di sini. Hal yang membuat seseorang merasa harga dirinya direndahkan bukanlah semata-mata karena ucapan sang atasan, tapi juga karena tingkat sensitivitasnya untuk menerima ucapan tersebut.  Karena tingkat akseptabilitas terhadap kata “kamu” yang diucapkan oleh atasan bisa berbeda di antara para stafnya, maka sesungguhnya respon terhadap ucapan tersebut pun bisa berbeda. Bukan tidak mungkin sebagian di antara staf tadi menganggap sebutan “kamu” yang diucapkan oleh atasan tersebut sebagai “sesuatu yang tidak penting”.  Ucapan tersebut, menurut mereka, sama sekali tidak berpengaruh pada martabat dan harga diri mereka.

Pertanyaan berikutnya, mengapa atasan tadi tetap mempertahankan kebiasaan tersebut meskipun dia tahu semua atau sebagian besar stafnya tidak menyukainya? *(diulangi lagi). Kemungkinan pertama adalah dia menganggap kebiasaan tersebut merupakan gaya ekspresi yang dipilih sebagai identitasnya, tanpa diboncengi oleh niat atau kepentingan apapun. Setiap orang, menurutnya, berhak untuk memilih menggunakan kata ganti kedua manapun, termasuk “kamu” dan juga “you”, dalam berkomunikasi dengan orang lain.  Kemungkinan berikutnya, dengan menggunakan sebutan “kamu” kepada stafnya dia berharap si staf akan memperhatikan dan merespon sesuai dengan keinginannya.  Kata “kamu” di sini barangkali merupakan simbol ketegasan dan sikap straight forward, tanpa basa-basi, yang ingin diperlihatkannya.


Seorang atasan atau pemimpin yang biasa menggunakan sebutan “kamu” kepada stafnya dalam setiap acara pertemuan mungkin bermaksud baik, supaya pertemuan tersebut dapat berlangsung dalam suasana kekeluargaan atau kebersamaan tanpa ikatan yang terlalu formalistis.  Namun mereka yang merasa harga dirinya direndahkan seringkali menyebutnya sebagai seorang pemimpin yang otoriter. Sikapnya yang tegas dan straight forward seringkali diartikan sebagai sikap yang tidak penuh kehati-hatian dan terlalu menggampangkan.

Meskipun demikian, suatu saat nanti kita  akan merindukan kehadirannya.  Barangkali ketika sikap kehati-hatian dan basa-basi telah mengalami inflasi yang terlalu tinggi,,,

Rabu, 01 Februari 2012

Rolling On The Floor Laughing

Suratman, Sugiman, Suparman, sampai matinya tak tahu bahwa nasibnya, bersama nasib 900 juta rekannya di dunia, telah beribu kali didiskusikan, diseminarkan, dikonferensikan. Bahkan sehabis Dr. Soedarno Soemarto, Dr. Vivi Alatas, dan Prof. Mardiasmo berdiskusi dengan akrabnya di Yogyakarta, di tempat lain berliter wine dituang dari botol-botol ke gelas-gelas manis, dan "cheers! Wine toast!! … untuk kaum miskin di bumi manusia”. Seluruh pcserta meneguknya, meletakkan kembali gelasnya, dan bertepuk. Orang terharu, berpeluk-pelukan, hampir menitikkan air mata, menghayati kemiskinan, baik yang mutlak maupun yang sedang-sedang. Seandainya bunyi tepuk tangan terhadap kaum miskin direkam dari seminar demi seminar, dari Semarang sampai Birmingham, dibutuhkan ribuan terra harddisk sejumlah orang miskin di dunia sendiri. Dan golongan miskin pun akan menjadi kenyang. Jangan kasih rekaman diskusinya, sebab kemungkinan besar mereka bingung. Bagaimana menerangkan bahwa, setidaknya, ada guratan dari wajah seminar-seminar semacam itu yang klise? Bahwa beratus ribu kata dalam konferensi itu terbang bagai pawai burung di angkasa, yang sesudah letih melanglang buana begitu sukar menemukan dahan pepohonan atau kebun untuk hinggap?

Pernahkah diteliti berapa jumlah sarjana, master, dan doktor yang dihasilkan oleh tema kemiskinan, penindasan, keprihatinan? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang dilakukan para sarjana kemiskinan itu dengan usaha memerangi kemiskinan? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat makin banyaknya para piawai yang makanan utamanya masalah kemiskinan? Seberapa jauhkah orang miskin bukan merupakan barang jualan baru bagi para intelektual-karieris? Pertanyaan semacam ini memang lahir dari bakat berprasangka buruk. Beberapa intelektual pusing tujuh keliling, suntuk mencari metode pembangunan demokratik, dan memaket beratus wejangan yang entah bagaimana nasibnya di gerbang pintu imperium bumi maupun bagian-bagiannya. Tapi kita tak putus asa. Dari sebuah tempat di Bumi Latin, kita kukupi kepingan itu, kita lemparkan kembali ke gerbang istana – memberi rekomendasi hampir ke seluruh kementerian, untuk menaburkan puluhan ton koin bagi usaha-usaha pembebasan segala bidang di negara-negara Dunia Ketiga.

Untuk itu kita perlu diskusi kebudayaan dan pembangunan empat hari. Dimulai dengan memperdebatkan kembali definisi kebudayaan versi Prof. Koentjaraningrat, cukup buntu karena para seminaris ini manusia-manusia ontologis, sedang jutaan orang yang diperbincangkan itu manusia lingkungan lumrah. Akan kita paksa mereka membebaskan diri dengan cara kita. Kemudian, tentulah, ditelusuri segala segi proses pembebasan ekonomis, sosial budaya, politis. Klise pengkelasan sosial ekonomi kita putar lagi: hari ini makan kaga? Besok makan kaga? Besok makan apa, enaknya? Besok asiknya makan di mana? Besok sebaiknya makan siapa?? Di hari keempat, dipersiapkan lunch yang bukan main mewah penuh warna-warni, dan artistik. Untuk itu diperlukan klise baru. Saudara-saudara, entah makanan ini tergolong kelas berapa, tapi toh ini khusus kalau seminar saja. (Seseorang membisikkan klise: Wah, beginilah kita, kering mulut mendiskusikan kemiskinan dan penderitaan, lantas pesta). Kemudian klise lagi: makan, berdikit-dikit, estetis, tapi kenyang. Tertawa, ngobrol, memperdebatkan teori dan terapan. . . Faaantastic! Isn't it?"

Inti diskusi itu adalah diskusi itu. Inti seminar itu adalah seminar itu. Bagus sekali diskusi kita, pemilihan orangnya cocok dengan temanya, cukup beragam sehingga tidak stereotip, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan, terfokus tetapi longgar, dinamis. Sukses. Selamat, selamat.. Lalu kita menata pakaian, mengangkat kopor, berpelukan satu per satu. Lusa kita mendapat undangan seminar yang lain. Dan Suratman, Sugiman, Suparman, Hanoman masih setia dengan kartu domino, rokok, dan minum Lapen sampai ketawa ngakak guling-guling di lantai gardu…

Lah ko ada Hanoman?!