Kamis, 05 April 2012

THE INSANITY OF PLATO AND CRITO

Do not be angry with me for speaking the truth; no man will survive who genuinely opposes you or any other crowd and prevents the occurrence of many unjust and illegal happenings in the city. A man who really fights for justice must lead a private, not a public, life if he is to survive for even a short time. (Apology 31e-32a)
Inilah kata-kata Socrates, yang berbicara sebelum juri Athena dalam sidang yang akhirnya menakdirkan dia untuk bertemu kematian. Melalui karya-karya seperti Apology dan The Republic, kita bisa melihat ketidaksukaan Plato tentang konsep demokrasi. Mengapa ia menganggap demokrasi menjadi begitu cacat? Mari kita lihat melalui mata sendiri. melihat apa yang menjadi kritik individualnya, dan menentukan apakah konsep dari demokrasi memang memiliki beberapa cacat sebagaimana yang dia percayai bahwa hal itu memang terjadi.

Salah satu definisi kontemporer demokrasi saat ini adalah "Pemerintah oleh rakyat, yang dilakukan baik secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih; Peraturan/pengaturan oleh si mayoritas". Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan adalah ide yang radikal ketika diwujudkan; di awal sejarah dunia, banyak pemerintahan yang totaliter atau berkuasanya sebuah tirani, hal ini karena ada keyakinan yang menyeluruh dan mendasar bahwa yang kuat berkuasa atas yang lemah. 

Meskipun orang-orang Yunani menciptakan kata "demokrasi" - kata-kata demos "orang" dan kratos "aturan" yang secara harfiah adalah "pemerintahan oleh rakyat" – bahkan ada spekulasi bahwa bangsa Sumeria dan India berhasil melakukan metode pemerintahan demokratis pertama. Namun bukan sejarah demokrasi yang coba saya tuliskan melainkan fokus pada kritik Plato terhadap demokrasi, khususnya dalam hal model Athena dan tulisan-tulisannya dalam dialog Socrates.

Jadi demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana rakyat memilih pemimpin mereka, dalam kasus Athena, kurang lebih yang terjadi adalah demokrasi langsung di mana semua warga negara laki-laki memberikan suara dalam sebuah persidangan akbar dan diputuskan oleh kekuasaan mayoritas (adanya kuotasi jabatan). Mengapa hal ini menjadi sesuatu yang buruk? Apakah ini lebih baik dari kediktatoran atau oligarki, di mana terdapat satu orang dari sekelompok kecil elit yang memiliki kekuasaan atas kesemuanya? Apakah sebuah pemerintahan yang keputusannya dibuat oleh sekelompok perwakilan orang merupakan sesuatu yang layak kritik? karena memanglah benar untuk mengatakan bahwa Plato memang memiliki beberapa masalah dengan demokrasi, khususnya yang berkaitan dengan model Athena.

Menggunakan analoginya sendiri, Sokrates mengatakan bahwa seorang publik speaker/ahli pidato akan lebih mampu membujuk sekerumunan orang awam tentang masalah kesehatan daripada dokter. Meskipun hal ini kelihatannya sepele tapi sejarah mengungkapkan kebenaran mengerikan di balik kata-kata ini; sepanjang sejarah dunia, banyak sekali orang telah tertipu dan terpedaya oleh pembicara terampil, ahli retorika. Hal Ini seperti yang Friedrich Nietzsche katakan bahwa “Insanity in individuals is something rare - but in groups, parties, nations and epochs, it is the rule.” Bahkan sampai sekarang pun kita sering menyaksikan adanya orang-orang yang membuat kebijakan di suatu bidang yang tidak dia kuasai. Meskipun ini mungkin tampak bertentangan dan justru meremehkan ketidaktahuan rakyat pada umumnya, terutama ketika seorang individu dengan bijaksananya berbuat skeptis atas dasar kepentingan kelompok tertentu. Tapi bukankah skeptis itu tidak bijaksana?

Namun, mari kita kembali fokus pada argumen Socrates dan perkataannya tentang kejahatan tirani. Polus - guru retorika - berpendapat bahwa orang yang tidak adil (dalam hal ini, Arkhelaus, seorang raja dari Makedonia), meskipun melakukan sebah kejahatan, tapi dia beruntung. Meskipun melakukan tindakan yang tidak adil, tapi dia berhasil menjadi penguasa, sekali lagi, dia lebih beruntung, mengingat dia belum memenuhi tuntutan hukuman apapun. Socrates tidak setuju dengan gagasan ini, ia berpendapat bahwa”..among all wretched men, it is the unpunished that are truly unhappy..”. 

Polus menekankan pemahaman bahwa manusia harus peduli tentang kebahagiaan jiwanya. Hal ini berbeda dengan Socrates yang mengatakan bahwa seorang penjahat yang menerima koreksi atas kejahatannya akan jauh lebih bahagia daripada orang yang tidak menerima hukuman sama sekali.

Mari kita membawa alur pikir kembali ke masalah demokrasi. Penjahat yang melakukan kesalahan tanpa menerima hukuman apapun adalah orang yang paling celaka. 

Bagaimana jika, sebagai mayoritas, orang-orang memutuskan untuk melakukan tindakan keji, seperti aksi militer terhadap bangsa lain demi memenuhi sumber daya di negerinya sendiri adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Tindakan seperti itu akan mengakibatkan lebih banyak penderitaan daripada jika dia melakukan aksi militer terhadap bangsa lain. Juga pertimbangkan bahwa mayoritas masyarakat tidak akan menghakimi diri, karena mereka adalah orang-orang yang setuju untuk ambil bagian dalam tindakan tersebut.

Bahkan jika individu tersebut sebenarnya seorang tiran, kejahatan yang ditimbulkan hanya akan mencemari jiwanya sendiri; hasil dari proses demokrasi yang ternyata kemudian hari disadari bahwa itu merupakan suatu kesalahan, cenderung akan mencemari jiwa setiap orang yang turut ambil bagian dalam proses politik. Dalam Apology, Sokrates diadili dan dihukum mati oleh orang-orang Athena yang sebenarnya pemikiran mereka banyak dipengaruhi oleh Socrates –sang ahli retorika-. Seorang Socrates yang bijaksana dihukum mati oleh orang-orang yang salah memahami permaknaan dari kebijaksanaan yang telah diajarkan Socrates.

Unless the philosophers rule as kings or those now called kings and chiefs genuinely and adequately philosophize, and political power and philosophy coincide in the same place, while the many natures now making their way to either apart from the other are by necessity excluded, there is no rest from ills for the cities, my dear Glaucon, nor I think for human kind, nor will the regime we have now described in speech ever come forth from nature, insofar as possible, and see the light of the sun. (Republic 473d-e)

Seorang filsuf, Plato dan Socrates, adalah penguasa ideal bagi sebuah negara. Mereka merupakan manusia-manusia dengan tingkat pengetahuan tak terbantahkan yang prihatin dengan masyarakatnya dan hanya ingin memberikan apa yang terbaik baik masyarakatnya. Seorang ‘raja’ yang hanya peduli mengejar kebijaksanaan pasti akan lebih baik dari pecinta kekayaan, kekuasaan, atau status.

Sayangnya, kita hanya manusia, dan rentan terhadap banyak kejahatan dan kebohongan. Caranya adalah dengan mencegah adanya orang-orang yang membuat kebijakan di suatu bidang yang tidak dia kuasai.

Tapi bagaimana kita menakar hal yang benar? Mari kita cermati dialog berikut:
Socrates: tidak, Crito. Bagaimanapun harus jelas.
Crito: terlalu jelas, tampaknya. Tapi, sahabatku Socrates, kini dengarkanlah aku dan selamatkan dirimu sendiri. Sebab, jika engkau mati, itu bukan hanya musibah buatku; aku akan kehilangan seorang sahabat yang tak akan pernah bisa kutemukan lagi. Selain itu, banyak orang yang tidak benar-benar mengenal kamu dan aku akan mengira bahwa aku dapat menyelamatkan dirimu seandainya saja aku bersedia menebusmu, tetapi aku tidak inigin melakukan hal itu. Alangkah buruknya menganggap uang jauh lebih penting darpada seorang sahabat? Sebab, banyak orang yang tidak percaya bahwa kami sangat ingin menolongmu untuk pergi dari sini, tapi engkau menolak.
Socrates: Tapi, sahabatku Crito, mengapa kita terlalu memperhatikan jalan pikiran orang banyak? Sebab, kebanyakan orang berakal, yang pendapatnya lebih pantas untuk diperhatikan, akan berpikir bahwa segala sesuatu akan terjadi seperti apa yang seharusnya terjadi.
Crito: Tapi Socrates, engkau sendiri merasa perlu memerhatikan pendapat umum, karena musibah yang tengah kita hadapi saat ini membuktikan bahwa masyarakat mampu mencapai tujuannya, bukan dengan alat apapun, tapi dengan kejahatan yang sangat besar, jika orang mempunyai reputasi buruk dengannya.
Socrates: Crito, aku hanya berharap agar masayarakat berhasil mengerjakan kejahatan terbesar, sehingga mereka mungkin pula berhasil melakukan hal-hal yangterbaik. Setelah itu, semuanya akan menjadi baik. Namun, kini mereka tidak dapat melakukan keduanya, sebab mereka tidak mampu membuat yang bijak atau bodoh, teteapi mereka melakukan apa pun yang terjadi pada mereka.

Beragamnya kepercayaan terhadap apa yang benar dan apa yang salah dapat diakibatkan oleh perbedaan tingkat ilmu pengetahuan. Ketika dialog tersebut kita cermati, maka kita akan memiliki sebuah alasan untuk hanya mendengarkan orang bijak di antara kita, yaitu orang yang emiliki pengetahuan lebih dan berbicara adengan dasar ilmu pengetahuan yang kuat, atau boleh jadi, orang yang berbeda memilik sudut pandangnya sendiri yang terbatas tentang kebenaran. Masing-masing sudut pandang terdistorsi dengan caranya sendiri. Sebab, jika kebenaran hanya merupakan sensasi, dan tidak ada manusia yang dapat memahami perasaan orang lain untuk menentukan apakah pendapatnya benar atau salah. Maka, masing-masing orang dengan sendirinya menjadi satu-satunya hakim dan segala sesuatu yang diputuskannya itu benar, mengapa demikian?

karena manusia adalah ukuran segala sesuatu, ukuran segala sesuatu secara apa adanya, dan ukuran segala sesuatu yang bukan sebagaimana adanya. Kebenaran objektif tak lain hanyalah gagasan terbaik yang kita miliki mengenai cara menjelaskan apa yang tengah terjadi.

dan akhirnya kita mungkin tersadar bahwa relativisme kebenaran tanpa takaran ilmu pengetahuan juga telah menyetubuhi sistem demokrasi bangsa ini.

2 komentar: