Kamis, 14 Juni 2012

Menanti Dering Ponsel


Jika aku tidak memikirkannya, mungkin ponsel ini akan berdering. Terkadang hal itu bisa terjadi. Kalau saja aku bisa memikirkan hal lain. Kalau saja aku bisa memikirkan hal lain… Oh, berderinglah. Kumohon.
Ini kali terakhir aku akan menatap jam di dinding. Aku takkan meliriknya lagi. Sekarang sudah pukul sepuluh malam lewat tujuh. Katanya dia akan menelepon pukul lima. “Aku akan meneleponmu pukul lima, sayang.” Kalau tidak salah dia ada menyebut kata ‘sayang’ dalam kalimat itu. Aku yakin dia mengatakannya. Aku yakin benar dia memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dua kali, dan yang satu lagi dia gunakan saat ia akan berangkat ke kantor. “Aku berangkat kerja, sayang.” Dia sedang sibuk dan tidak bisa bicara banyak di kantor, tapi ia memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dua kali. Pasti dia takkan keberatan kalau aku yang meneleponnya.
Aku tahu wanita tidak seharusnya meneror pria terus-terusan lewat telepon – aku tahu dia sangat tidak suka jika diteror seperti itu. Karena dengan begitu dia akan merasa bahwa aku memikirkannya dan menginginkannya dan hal itu bisa membuatnya muak terhadapku. Tapi sudah lima hari ini aku tidak berbicara dengannya. Tidak sedikit pun. Dan aku cuma ingin menanyakan kabarnya saja, kok. Siapa saja bisa melakukan hal itu. Tentunya dia tidak keberatan,kan? Aku tidak mengganggu kan? “Tentu saja tidak,” katanya. Lalu dia bilang dia akan meneleponku. Dia tidak perlu mengatakan itu. Aku juga tidak memintanya untuk mengatakan itu, Sungguh. Aku pikir mustahil dia berjanji meneleponku, lalu mengingkari janjinya sendiri tanpa sebab. Tolonglah, Tuhan. Jangan sampai dia mengingkari janjinya.

Dia memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dua kali. Itu hakku. Aku berhak mengingat itu, meski sementara waktu aku tidak bertemu dengannya. Oh, tapi itu tidak ada apa-apanya. Itu saja tidak cukup. Tidak ada yang akan pernah mencukupi kekosongan yang ada dalam dada jika aku tidak bertemu dengannya. Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya, Tuhan. Tolonglah, aku sangat menginginkannya. Aku sungguh menginginkannya. Aku janji akan jadi orang baik-baik, Tuhan. Aku akan mencoba untuk jadi orang yang lebih baik, sungguh, kalau Kau mengijinkanku untuk bertemu lagi dengannya. Kalau Kau mengijinkannya untuk meneleponku.
Ah, jangan biarkan doaku terasa ringan dan tak berarti bagi-Mu, Tuhan. Engkau duduk di atas sana, dikelilingi oleh para malaikat dan bintang-bintang, jauh dari polusi kehidupan, dan aku justru datang kepada-Mu untuk mengadu tentang sebuah panggilan telepon. Ah, jangan tertawa, Tuhan. Kau tidak tahu seperti apa siksaan ini. Kau begitu nyaman di singgasana-Mu, di atas awan yang menggantung di atas langit biru. Tidak ada yang bisa menyentuh-Mu; tidak ada yang bisa meremas hati-Mu seperti ini. Inilah penderitaan, Tuhan. Penderitaan tiada tara. Sudikah Engkau membantuku? semoga ponselku berdering sekarang juga.
Aku harus berhenti melakukan ini. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Misalnya seorang pria berjanji untuk menelepon gadis pujaannya, lalu sesuatu hal terjadi yang mencegah pemuda itu untuk menepati janjinya. Terus kenapa? Tidak ada salahnya, kan? Hal yang sama mungkin terjadi di seluruh dunia pada saat ini. Tapi persetan!! Kenapa ponselku masih belum berdering? Dasar benda jelek tak berguna. Aku akan membantingmu sampai hancur.
Tidak, tidak,,. Aku harus berhenti. Aku harus berusaha memikirkan hal lain. Ini yang akan kulakukan. Aku akan memindahkan jam dinding ke dalam lemari agar aku tidak bisa melihatnya terus-terusan. Kalau aku harus melihatnya, maka aku harus masuk ke dalam lemari dan mungkin saja berujung ke negeri Narnia dan dengan begitu aku ada sedikit kegiatan. Mungkin dia akan meneleponku. Aku akan berbicara dengan lembut dan manis jika dia meneleponku. Kalau dia bilang dia tidak bisa bertemu denganku malam ini, aku akan berkata, “Oh, tidak apa, sayang. Tentu saja boleh.” Aku akan bersikap semanis saat pertama aku bertemu dengannya. Mungkin dengan begitu ia akan semakin menyukaiku. Gampang sekali rasanya bersikap manis sebelum aku jatuh cinta.
Tapi kurasa pasti dia selalu menyukaiku. Dia tidak mungkin memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dua kali di hari ini jika dia tidak menyukaiku sedikitpun. Kalau dia masih suka padaku, bahkan sedikit saja, maka aku masih punya harapan.
Apa Engkau menghukumku, Tuhan, atas kelakuanku yang buruk? Apa Engkau marah terhadapku karena kelakuanku? Tapi kan masih banyak orang di luar sana yang berperilaku buruk juga – Engkau tidak mungkin hanya marah terhadapku. Lagipula aku tidak mungkin bersikap terlalu buruk; tidak mungkin. Kami tidak merugikan siapa-siapa, Tuhan. Buruk tidaknya perbuatan manusia kan dinilai dari apakah perbuatan itu merugikan orang lain. Kami tidak merugikan seorang pun; Kau tahu itu. Kau tahu perbuatan kami tidak terlalu buruk kan, Tuhan? Bisakah Kau mendorongnya untuk meneleponku sekarang?
Bisa saja dia telat meneleponku – aku tidak perlu bertingkah berlebihan. Mungkin dia tidak akan meneleponku – dan langsung datang kemari tanpa meneleponku terlebih dahulu, seperti yang sudah-sudah. Dia pasti kesal kalau dia melihat mataku sembab habis menangis. Dia tidak pernah menangis dan marah di depanku. Aku berharap aku bisa membuatnya menangis dan mencakar lantai dan merasakan hatinya begitu besar dan berat dan membusuk dalam tubuhnya. Aku berharap aku bisa melukainya.
Dia tidak mengharapkan hal yang sama untukku. Aku rasa dia bahkan tidak sadar bagaimana perasaanku terhadapnya. Kuharap dia tahu perasaanku terhadapnya tanpa perlu kuumbar.
Mungkin itu yang sedang dia lakukan. Mungkin dia sedang menuju kemari tanpa meneleponku lebih dulu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi padanya, Aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak bisa membayangkan dia ditabrak dan terbaring di atas jalan dalam keadaan mati. Kuharap dia mati. Itu pengharapan yang sungguh menyedihkan. Itu pengharapan yang menyenangkan. Kalau dia mati, dia akan jadi milikku. Kalau dia mati, aku tidak perlu memikirkan saat ini atau beberapa minggu sebelum ini. Aku hanya akan mengingat saat-saat bahagia kami. Semuanya indah. Kuharap dia mati. Kuharap dia mati, mati, mati.
Konyol sekali. Betapa konyol mengharapkan dia mati hanya karena tidak meneleponku di saat telah janji untuk meneleponku. Mungkin jamku berdetak terlalu cepat; aku bahkan tidak tahu apakah jamku benar. Mungkin dia tidak terlambat sama sekali. Apa saja bisa membuatnya terlambat. Mungkin dia harus lembur di kantor. Mungkin dia pulang ke rumahnya dan akan meneleponku dari rumah. Mungkin dia tidak suka meneleponku di depan orang lain. Mungkin dia khawatir, sedikit saja, karena sudah membuatku menunggu. Atau dia mungkin berharap aku yang akan meneleponnya. Aku bisa melakukan itu. Aku bisa meneleponnya.
Tidak boleh, jangan sampai aku yang meneleponnya. Cegah aku supaya tidak melakukan itu. Aku tahu, Tuhan, seperti Kau juga tahu, bahwa jika dia khawatir terhadapku, maka dia pasti meneleponku di mana pun dia berada, meski ada orang banyak di hadapannya. Tolong sadarkan aku akan hal itu, Tuhan. Aku tidak meminta-Mu untuk memudahkan semuanya untukku. Biarkan aku tahu betapa besar perhatiannya padaku.
Tolong, Tuhan, jangan biarkan aku yang meneleponnya. Kumohon.
Lagipula apa masalahku sekarang? Ini masalah kecil, tidak perlu sampai terlalu meributkannya. Aku mungkin sudah salah mengartikan dia. Mungkin dia bilang aku harus meneleponnya kembali pada pukullima. “Telepon aku pukul lima, sayang.” Mungkin saja dia mengatakan hal itu dan aku tidak mendengarnya dengan baik. “Telepon aku pukul lima, sayang.” Aku nyaris yakin itu yang dia katakan tadi. Tuhan, jangan biarkan aku bicara pada diriku sendiri seperti ini. Sadarkan aku, Tuhan,
Aku akan memikirkan hal lain. Aku akan duduk tenang. Kalau aku bisa duduk tenang. Kalau aku bisa duduk tenang. Mungkin aku bisa membaca. Oh, semua buku menceritakan betapa besar cinta orang-orang terhadap satu sama lain – cinta suci dan tulus. Buat apa ditulis hal-hal seperti itu? Tidakkah mereka tahu hal itu tidak nyata? Tidakkah mereka tahu hal itu hanya murni dusta semata? Demi Tuhan! Buat apa bercerita tentang cinta jika hal itu hanya akan membuahkan sakit hati saja?
Aku tidak akan melakukan itu. Aku akan diam saja. Tidak ada yang perlu diributkan. Kenapa aku tidak bisa berlaku santai dan natural hanya karena aku mencintainya? Aku bisa berlaku santai dan natural. Sunggu, aku bisa. Aku akan meneleponnya dan dengan mudah berbicara dengannya.
Tuhan, apa Kau benar tidak sudi mendorongnya untuk meneleponku? TUHAN, tolonglah, semoga dia meneleponku sekarang. Tuhan, semoga dia meneleponku sekarang. Permintaanku tidak terlalu berlebihan, kan? Aku hanya minta hal yang sangat, sangat kecil dari-Mu. Semoga dia meneleponku sekarang. Tolonglah aku, Tuhan. Aku memohon kepada-Mu.