Kamis, 22 Desember 2011

Universite J e T'aime

Siang itu matahari seolah menghujani segenap makhluk dengan racun UV yang menjalar di permukaan kulit, di dalam ruang aula, berkumpulah sekitar dua puluh kodi mahasiswa baru suatu lembaga pendidikan tinggi yang gaung nama besarnya terdengar hampir di seluruh nusantara. Studium generale yang diselenggarakan untuk mengawali tahap-tahap khusus ritual penyambutan, sebuah kuliah umum perdana yang riuh ramai berisi mahasiswa cerdas terpilih. Para remaja yang energik ini diperlakukan dengan hangat, digiring, dibariskan, dimobilisir layaknya tur keliling kampus. Perhatian mereka memusat pada keasyikan diri masing-masing dalam takaran yang saat itu hampir tidak memikirkan objektivitas terhadap suatu apapun atau barangkali memang itulah target mobilisasi sesungguhnya.

Seorang pakar motivator, yang konon juga memiliki tingkat intelegensia tinggi didatangkan,dipersilahkan duduk di atas kursi seempuk kasur dan diperkenalkan profilnya. Para remaja itu tidak memperdulikannya, seperti juga mereka bersikap cuek terhadap angin yang tak kunjung datang menyapa mereka di dalam ruang aula.

Para mahasiswa cerdas terpilih yang hadir di depanmu, tidak dengan kewajiban memahami sesuatu melainkan dengan hak untuk dipahami.

Situasi berkelompok pun terbentuk tanpa mereka sadari seperti situasi sebuah mall dengan beragam
tema hidup dan psikologi hura-hura. Mereka tidak perlu terhenti oleh formalitas studium generale atau
bahkan pembacaan ayat-ayat ilmiah.

Saya tidak akan berceramah kepada Adik-adik, sang pakar memulai penampilannya dengan pandangan
menyapu seluruh audiens di ruang aula tersebut. Ciri khas orang yang memahami ilmu publik speaking,
berusaha mendapatkan aura yang tersisa. Meskipun di siang yang menyengat ini pertemuan kita dikawal
oleh lapisan kalimat tema yang sulit dipahami. Saya mengerti kalau Adik-adik semua tak suka hal yang mulukmuluk.

Tampak sang pakar memulai rayuannya. Ia bukan saja bersiap menyesuaikan diri terhadap takaran
suhu ruangan tapi bahkan mencoba berangkat dari alam pikiran mereka. Ada kemungkinan saya makin
tidak percaya dengan fenomena ceramah. Pertama, dari hidup ini hanya sedikit saja yang bisa Adik-adik
pahami dan hayati lewat komunikasi informatif, sementara sebagian besar pemahaman hidup hanya
mungkin Adik-adik peroleh dari penghayatan di kehidupan nyata. Saya tidak akan sanggup menjelaskan
bahaya merokok meskipun dengan uraian satu desertasi doktor, sebelum Adik-adik sendiri tersiksa
karena rokok. Kedua, berceramah itu egoistik. Bagaimana mungkin Adik-adik digiring susah payah ke
ruangan ini untuk mendengarkan perkara yang mungkin tidak Adik-adik kehendaki. Bagaimana mungkin
seorang penceramah tiba-tiba berkwek-kwek tanpa tahu siapa Adik-adik ini

Tapi para mahasiswa baru itu terus saja menghanyutkan diri dalam Studium Generale yang mereka kreasikan sendiri. Sang pakar mulai heran dengan para remaja di hadapannya, tak ia temukan itikad bahwa mereka tertarik tawaran demokrasi yang menurut sang pakar- sedemikian tinggi nilai rezekinya di tengah budaya komunikasi instruksional yang makin merajalela.

"Saudara-saudara!!" sang pakar meningkatkan nadanya dan mengganti sapaannya. Saya ingin
mencoba berangkat dari aspirasi Anda, dan sangat membatasi gairah saya sendiri. Marilah kita ngobrol
sesantai mungkin
Juga tak ada yang berubah dari air muka para mahasiswa itu.

'Siapakah Anda? Murid atau murad? Murid adalah orang yang menghendaki. Murad adalah orang yang
dikehendaki. Siapa Anda siang ini di acara ini? Apakah Anda datang kesini karena menghendaki
sesuatu yang mungkin bermanfaat bagi proses kuliah Anda nanti ataukah Anda sekedar hadir karena
kehendak pihak yang mengatur Anda?"
Masih saja kosong wajah mereka.
"Tolong yang merasa murid, mengacungkan tangan!"
Seseorang mengacungkan tangan.
"Yang merasa murad?"
Tak seorang pun mengangkat tangannya.
"Jadi siapa Anda?"
Kosong. Tak sebersit pun sinar mata yang mengungkapkan sesuatu. Sementara di bagian belakang
berlangsung terus Studium Generale yang tak bergeming suara berisiknya oleh tawaran apapun.
"Coba, Mas yang tadi mengacungkan tangan. Bersediakah Anda menolong forum ini dengan mengemukakan apa yang Anda kehendaki dari pertemuan kita pagi ini?"
Syukurlah dia menjawab, "Saya ingin menjelajah langit, karena langit adalah kitab yang terbentang"
"Luar biasa!!" sang pakar mulai melonjak.
Yang terdengar kemudian adalah suara berdecak-decak dari daerah belakang.
Sang pakar agak kagum

Apa yang kira-kira mereka sukai dalam hidup ini? Kalau inisiatif kawan mereka sendiri tak berhak mereka
hargai. Maka apa yang sebenarnya mereka kehendaki? Ketika wacana apatisme menggema abadi hampir di seluruh seantero kampus, sebenarnya siapa mengapatiskan siapa? Apa makna menjadi mahasiswa bagi anak-anak muda ini?
Pada usia se-Anda ini, sang pakar coba terus melanjutkan, Dulu Prof. Koentjaraningrat melakukan riset
terhadap kebudayaan dan mentalitas .

Terdengar ck, ck, ck, ck lagi.

Tentulah para psikiater makin laris. Para dosen akan disambut oleh keadaan yang sanggup meningkatkan
stress mereka. "Usia Anda-anda ini merupakan fase mencari, mata jelalatan ke kiri kanan untuk menemukan apa yang terbaik untuk dipilih. Bersyukurlah Anda sudah menemukan sebagian dari pilihan hidup Anda, yakni menuntut ilmu di kampus ini. Bisakah seseorang menjelaskan kenapa memilih studi di kampus ini, apa hubungannya dengan cita-cita pribadinya, dengan keluarganya, syukur kalo nyambung dengan keadaan negaranya? Siapa?"
Kali ini sang pakar sudah lebih siap untuk mendengar dan menerima kesunyian namun matanya tak
bergeming dari rumput manusia di depannya. Ketika sekian lama tak seorang pun membuka mulut, sang
pakar bagaikan meledak. "Jadi apa sebenarnya yang Anda kehendaki dari forum ini?!! Anda ingin saya
melontarkan senapan kalimat dan Anda akan sibuk mencatatati sebagian serpihannya agar memperoleh
sertifikat Studium Generale? Sertifikat yang konon menjadi syarat pintu masuk bagi Anda jika ingin turut
meramaikan kampus ini?"

Wajah mereka tanpa ekspresi tapi mudah-mudahan bukan generasi tanpa ekspresi.
"Apa Anda ini kambing? pakar kita tampaknya mulai benar-benar kalah, Sepertinya Anda ini merupakan
bagian dari massa mengambang!!"

Para mahasiswa itu tetap setia dengan kedamaian wajahnya. Tidak tersinggung. Tidak terhina. Tidak marah.

"Atau Anda ingin saya bersikap seperti Butet Kertaradjasa yang bijaksana tapi terkadang error?"
Agak kaget. Rupanya mereka pernah mendengar nama itu. Nama yang menjanjikan kelucuan dan tamparan sosial. Tapi apa yang membuat mereka sedikit tersentak? Tamparannya atau kelucuannya?
Kemudian sang pakar menirukan salah satu gaya Butet yang sebenarnya merupakan tiruan dari ciri khas
salah satu mantan pemimpin negeri ini. Tertawalah para mahasiswa baru itu.
"Jadi apa maunya Anda-anda ini?"
Dan seperti situasi semula. Tak seorang pun menjawabnya.
"Apakah Anda generasi tanpa kehendak? Generasi tanpa aspirasi, tanpa integritas? Generasi yang kurang peka terhadap persoalan yang bersliweran di sekitarnya? Generasi yang bisa digiring seperti kumpulan kambing dan cuma bisa mengembik tanpa arti jelas?"
Suasana menjadi hening beberapa saat dan dalam keheningan itu, atau oleh keheningan itu, sang pakar
menambahkan berondongan kalimatnya dengan sebutan baru yang ia ucapkan dalam batin.

Memang ini generasi tanpa imajinasi. Generasi yang wajahnya tidak berwajah

Tiba-tiba suaranya terdengar kembali, "Ataukah Anda sekedar kesulitan untuk mengatakan diri?"
Tiba-tiba pula tanpa diduga oleh sang pakar, terdengar jawaban serentak. "Yaaa!!! Ituu!!"
"Anda sulit mengespresikan diri?"
"Betuuuuul!!"
"Anda tidak bisa menyusun kalimat?"
Mereka tertawa.
"Anda tidak paham persis apa yang sedang Anda pikirkan? Anda tidak punya kerangka untuk menyusun
pikiran yang melintas di kepala Anda secara semrawut?"
"Yaa!!"
"Anda tidak punya metode mengembangkan diri?"

Jawaban kali ini tidak serempak. Kalimat itu agaknya abstrak.
"Kenapa Adik-adik tak bisa mengekspresikan diri?"

Tampak sang pakar mulai turun dari klimaks dan kembali mengganti sapaannya.
"Kenapa?" Sang pakar bertanya lagi.
Diam.
"Apa atau siapa yang salah? Guru Adik-adik yang dulu? Orang tua adik-adik? Kurikulum? Politik .?"
"Yaaa!!" jawaban mereka amat kompak serentak.
"Kenapa politik?"
Seorang mahasiswa baru setengah berlari ke depan menuju tripod mic yang baru tersentuh satu kali.
"Kami heran dengan politik yang diceritakan oleh kakak-kakak kami yang lebih dahulu studi di sini. Politik yang diciptakan oleh kawan-kawan mereka sendiri. Tirani yang menyisakan ironi dan mungkin berlanjut di masa kami dan adik-adik kami nantinya. Unbreakable tirani"

Mendadak Diam lagi. Mereka seperti mendengar kalimat paling tabu di hidupnya.

"Jangan hanya bungkam!! Apalagi jika hanya menulis keluhan!!" Sang pakar seperti menyalakan api di
siang hari.
Tiba-tiba para anak muda itu bertepuk tangan.
"Apa yang salah dengan politik?"
Diam.
"Bagaimana mereka akan menguasai Anda?"
Semakin diam.
"Apakah Anda pernah belajar politik? Apakah belajar politik berarti masuk fisipol? Padahal di kampus ini tidak ada kelas fisipol. Bagaimana dengan senat yang akan memayungi Anda, apakah punya bidang humpol? Cukupkah itu?"

Diam yang makin menusuk.
Seolah mereka berada di kaki palung diam yang terdalam.

Diskusi akhirnya macet total. Sang pakar langsung keluar ruangan, menyalakan rokok dan menghisapnya
dalam-dalam sambil bergumam sejak dulu masih seperti itu

Lantas aku pun tertawa parau mendengarkan Dito berbagi pengalamannya ketika mengikuti studium
generale itu. Menatap Dito tak ubahnya melihat kamera pink yang setia menemaniku. Dia anak baru di
kampus ini. Ahh.. sudahlah, berulangkali aku mendengar cerita yang sama dari orang-orang yang
berbeda. Setelah seharian duduk menatap papan tulis, tak enak rasanya jika soreku yang penat ini
semakin diperparah dengan cerita semacam itu. Hanya menambah kering kerongkongan dan ingin
meneguk habis semua softdrink di kantin. Langkahku pulang ke kos terasa berat padahal tubuhku ingin
cepat mendarat di kasur. Kasur dari tempat tidur yang rawan ambruk. Si Belang, kucing yang baru dua tahun kupelihara tampak tidur di depan kamar. Ketika terdengar suara anak kunci berhasil membuka daun pintu, si Belang langsung bangun dan seperti biasa mendahuluiku masuk kamar.

Badanku kembali segar, mungkin saat mandi tadi semua kepenatan di kepalaku luntur bersama semua daki yang menjajahku. Semoga saja materi kuliah yang kudapat sejak pagi tidak ikut luntur di kamar mandi atau malah sudah rontok duluan di jalan.
'pus..pus..pus..' seorang teman kosku setengah berteriak memanggil si Belang. Tulang-tulang ayam yang tidak habis digerogotinya dilempar ke si Belang. Musik Tiesto yang kusetel untuk meninabobokanku ternyata masih ampuh juga, tapi kemudian tiba-tiba, kriing..kriingg.. nada jadul ponselku bunyi. Sial, ganggu orang mau tidur pikirku. Kuangkat panggilan tadi dengan enggan. Nomer tak terdaftar, "Hallo..siapa?" tanyaku.
"Vito Corleone, kuberi Kau tawaran yang tidak bisa kau tolak, pinjamkan kameramu atau si Belang kuculik?!!"
ternyata Dito, bandar simcard, sok banget ganti nama Vito, segitu fanatiknya dia sampai mengcopy nama seorang tokoh di film The Godfather. "Ko tadi sore tidak bilang sekalian?? Ambil aja tar malem jam sebelas, sekarang mau tidur" jawabku.
Awal aku mengenalnya juga dari transaksi gratis pinjam kamera. Belakangan aku baru sadar kalau dia lebih sering jalan bareng dengan Miss Pink daripada aku si pemilik sebenarnya. Dulu pernah di pagi buta dia ketuk pintu kamarku, ingin rasanya kuhantam pintu kamar ke wajahnya. "Pinjam kamera mas, buat pemira" , segera kuambil kamera dan kuberikan padanya supaya dia lekas pergi,
"Makasi mas, jangan lupa nyoblos, dapet stiker loh.."
"liat aja besok.." ujarku singkat.

Sebenarnya aku ingin belajar bagaimana mampu ngomong tidak. Tidak yang biasa-biasa aja deh
Nggak usah yang pakai tanda seru atau tanda pentung. Buat apa aku nyeru-nyeru atau mentung-mentung. Toh aku tidak semahir satpam yang sering nyeru-nyeru dan mentung-mentung kalau bertemu maling. Ngomong tidak itu kelihatannya gampang, tapi walah!! Bisa-bisa aku dikucilkan. Entah karena
dikemplang entah dibilang tidak peduli dengan kehidupan kampus. Apalagi di musim pemilihan calon
pimpinan senat saat itu, padahal kalau mau buka mata dan buka hati, sebenarnya ada beberapa cara
menghasilkan sosok pemimpin. Ada yang model bai at, pemimpin yang lama menunjuk penggantinya
atau cara yang paling rusuh dengan kudeta dan mungkin masih ada lagi model lainnya. Kalau berkata
tidak kepada salah satu model, apa ya salah? Kan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masingmasing individu walaupun dikasih iming-iming es krim satu drum, yang namanya pendirian tu sulit di
debat kecuali dengan pendirian si pendebat sendiri. Masih banyak lagi lho yang harus aku tidakkin.
Misalnya ada yang bilang kaki ayam itu dua dan kakiku juga dua, maka ayam sama dengan aku atau
aku yang sama dengan ayam. Enggak lucu ya? Tapi semua tahu, karena ayam itu kecil dan aku ini
besar, maka ayam kumakan. Contoh lain seperti bintang kecil menghias angkasa. Tapi aku tidak
mungkin makan bintang. Ngomong tidak kan sulit. Memang ada tidak yang tanpa kata tidak. Misalnya dengan cukup diam atau tidak mengerjakan perintah seperti diajarkan Mahatma Gandhi. Ada tidak yang nampak seperti ya. Sementara ya kelihatan seperti tidak. Ya seakan-akan tidak, tidak seolah-olah ya. 

Ada ya yang ketidak-tidakan, ada tidak yang keiya-iyaan.
Orang ya disuruh bilang tidak, orang tidak dipaksa bilang ya. Siluman paksaan yang bisa menjelma selembut sutera. Ya menjadi buto ijo, menekan ibu keongmas yang ingin bilang tidak malah nyeplos ya.

Rupanya waktu itu susah juga menentukan pilihanku siapa yang cocok jadi pemimpin di kalangan mahasiwa kampus ini. Syarat berkeTuhanan yang maha Esa sudah jelas. Di lain itu sebaiknya untuk alam hidup kampus, yang berbudi luhur, jujur dan suka memberi. Memberi itu tidak cuma dalam bentuk uang receh, tapi juga memberi sapaan, memberi jendela supaya tidak menutup dri dari masukan di luar golongannya, memberi pelayanan terbaik buat seluruh civitas academica. Pelayanan yang tidak hanya dalam bentuk acara-acara formal. supaya tidak timbul kesan kalau kampus ini kampusnya mahasiswa EO event organizer, yang kesuksesannya hanya dinilai dari seberapa banyak acara yang dibuat.

Kurang mengenal konsep keinginan dan kebutuhan.
Diantara sekian banyak mahasiswa, tak sedikit yang relatif memenuhi syarat itu. Namun ada syarat
alamiah yang menggusur kemampuan mereka yakni bahwa calon hanya mungkin orang yang terpandang, membuat orang memandanginya. Ada lagi syarat yang berbobot, peminat : peminat mestilah memiliki orang-orang yang bersedia membantu permodalannya dan golongan pendukungnya sudah jelas. Syarat ini justru bisa mengaburkan syarat pertama: berbudi luhur dan jujur. Jika salah satu terpilih, apakah ada jaminan kalau dia lebih bagus dari pemimpin sebelumnya?

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menghasilkan penerus yang minimal setara dengan dirinya.
Suatu perkara yang semakin meracuni pikiranku, karena begitu kecilnya ruang lingkup kampus sehingga segala sesuatu menjadi begitu realistis dan telanjang di setiap kemungkinannya. Agak lebih gamblang mungkin bila memilih Barrack Obama dan Hillary Clinton sesudah meneliti lika-liku karir mereka,mendengar perdebatan mereka serta menimbang persaingan kualitatifnya. Hanya perlu suatu kejelasan pilihan yang terbaik menurut suatu ide dan mimpi. Di kampus yang kecil ini demikian susah untuk memiliki yang terbaik.

Adakah para mahasiswa menginginkan sesuatu yang terlalu tinggi? Banyak yang menghendaki pemimpinnya mampu bekerja dengan terampil, kreatif, ekonomis, efisien- ada juga embel-embel untuk jadi agen perubahan. Pada hakikatnya mimpiku sederhana dan universal, semua kehendak tadi tak lain adalah perwatakan dasar dan cara yang lebih efektif untuk menggapai mimpi itu.

Semuanya sederhana dan minimal_persis seperti yang dihidupi dan didambakan oleh para mahasiwa di
kampus ini. Sifat yang tetap bersemayam dalam batin namun tiba-tiba terasa begitu sukar untuk
menemukan keberadaannya. Para mahasiswa semakin kurang terlibat maupun melibatkan diri untuk
memperbincangkan siapa yang pantas memimpin mereka. Tampak bagiku bahwa pemilihan pemimpin
senat tak lebih dari sebuah upacara kecil yang tidak terlalu bersangkutan dengan kompleksitas
kehidupan sebagai mahasiswa. Tentulah ini bukan problem khas mahasiswa zaman sekarang.

Ungkapan kuno mengatakan hal yang sama. Dicari: Manusia . Bukan sistem kebijaksanaan, bukan
kepercayaan dengan mata melotot. Bukan kekuatan dengan senyum ramah, bukan juga ungkapan
Dicari: Manusia .

Seperti yang pernah diucapkan Bung Karno bahwa bunga mawar tidak mempropagandakan harumnya, tetapi harumnya dengan sendiri semerbak ke kanan-kiri.

Hampir jam 11 malam, si Belang kulihat lelap sekali tidur beralas tas coklatku yang mulai lusuh. Kenapa
mataku tak juga terpejam,,terganjal oleh asteroid-asteroid pikiranku sendiri, berhamburan menambah
kepenatanku. Cahaya bulan masih saja menusukku dengan ribuan permasalahan. Bagaimana jika Dito nanti mampu melihat kumpulan asteroidku?.

Aku hanya bisa berkata: Kita mungkin begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta, cinta kepada kampus ini dan cinta kepada asa untuk menjadi generasi yang wajahnya memiliki ekspresi .
Aku bukan mortir yang terlontar bebas dan memojokkan siapapun yang ditimpanya, aku hanya berminat
sebagai Life observer namun tak berbekal teropong.

Jika esok pagi aku bisa tersenyum sedu karena terbangun dari tidur dan kemudian secara ajaib memilki
rasa cuek terhadap hal-hal semacam ini seperti halnya sikapku yang cuek terhadap matahari si pemberi
kehidupan ataukah matahari sesungguhnya ingin berkata jangan cuek terhadap kehidupan yang
diberikan?


Disajikan ulang tanpa intisari, dari pelbagai sumber:



-pramuditya.kurniawan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar