Sering sebuah tulisan blog
hanya dipandang sebagai potret statis dari himpunan pemikiran penulisnya yang –anggap
saja- ideal. Bahkan sering pula digunakan hanya sebagai otak kedua untuk
menyimpan sebagian proses-proses kehidupan yang dilalui oleh penulisnya. Blog
dapat berhenti sebagai discourse pemerdekaan pemikiran seorang manusia, "direkayasa"
untuk berposisi dan beroposisi sebagai perangkap yang menghentikan atau
memperlambat perkembangan pemikiran. Dalam kumpulan kolom, sebu
ah blog juga berperan
sebagai jalan pemerdekaan yang tidak perlu terlalu repot untuk menghujatnya.
Melalui media ini pula seorang
individu dapat menari-nari dengan imajinya sendiri, sadar akan penalaran yang
dimiliki. Bentuk kesadaran inilah yang sering kali ditemukan tersembunyi dalam setiap
kronologi kehidupan yang dilaluinya, sebuah nasehat bagi yang membutuhkan
nasehat. Tarian penalaran yang berusaha dibumikan oleh si penalar.
Menari dan merdeka dalam kata-kata, sebagaimana ingin memerdekakan
pengertian-pengertian yang bisa jadi sulit dipahami oleh orang banyak. Berkelana
dalam tema-tema yang beragam, seperti dinamika kemahasiswaan, lingkungan kerja,
asmara, bahkan eksotisme rasa yang pernah singgah di lidah. Berkhotbah bagi
dirinya sendiri dan segala bentuk tafsir hikayat yang membosankan. Semuanya itu
disampaikan dalam bentuk tulisan pendek, kolom.
Kekuatan utama pada kolom adalah pada kemungkinan yang diberikannya untuk bermain dengan imajinasi, untuk bergurau dengan pengertian-pengertian. Jika mutu sebuah tulisan ilmiah harus diukur pada seberapa ketat dan konsisten dalam mengoperasikan konsep-konsep, maka pada kolom mutu itu dilihat pada seberapa mengejutkannya dalam menggedor sebuah impresi. Menemukan kebenaran relatif melalui analisis konsep dan permainan kata. Toh kita sudah familiar dengan para penulis kolom andal seperti Umar Kayam dan Goenawan Mohammad. Terkadang kekhilafan yang terlalu larut dan terbuai -dalam permainan ini membawa penulisnya berpetualang terlalu jauh, yang membuatnya meniadakan peran otak kedua dari menulis sekumpulan kolom.
Sebuah blog mungkin seperti
seorang pelukis ekspresionis, penulisnya terkadang tergoda untuk melukis
melampaui bibir-bibir kanvas. Bagi yang mampu menikmatinya, ini barangkali bisa
menjadi keasyikan tersendiri, sebagai intermeso melupakan sejenak pemikiran
yang terlanjur terkotak-kotak. Bagi yang tidak, hal ini hanyalah improvisasi
seseorang yang sedang ekstase, karenanya tak begitu penting. Pemahaman maknanya
dapat pula dilewatkan begitu saja tanpa mengurangi apresiasi terhadap keseluruhan
isi blog.
Tentu saja ada resiko penggunaan kolom untuk menyampaikan discourse. Karena di dalamnya batas antara permainan dan kesungguhan amat kabur. Maka kolom sangat mudah disalah mengerti, dan lebih memancing pembaca untuk sekadar menikmatinya ketimbang mencoba memahaminya dengan baik. Dalam hal ini kolom gampang dianggap sekedar hiburan dan kolomnis dipandang sebagai seorang penghibur, bukan pemikir, parahnya ada yang menganggap sekedar seseorang yang sedang membagikan sampah untuk dikonsumsi secara terbuka. Beberapa kolom yang ada dalam sebuah blog agaknya sulit menghindari risiko demikian. Walau begitu, sebuah ketidakadilan yang besar jika, dalam menilai keseluruhan blog hanya bersandar pada sebagian kecil dari kolom-kolom tersebut.
Tentu saja ada resiko penggunaan kolom untuk menyampaikan discourse. Karena di dalamnya batas antara permainan dan kesungguhan amat kabur. Maka kolom sangat mudah disalah mengerti, dan lebih memancing pembaca untuk sekadar menikmatinya ketimbang mencoba memahaminya dengan baik. Dalam hal ini kolom gampang dianggap sekedar hiburan dan kolomnis dipandang sebagai seorang penghibur, bukan pemikir, parahnya ada yang menganggap sekedar seseorang yang sedang membagikan sampah untuk dikonsumsi secara terbuka. Beberapa kolom yang ada dalam sebuah blog agaknya sulit menghindari risiko demikian. Walau begitu, sebuah ketidakadilan yang besar jika, dalam menilai keseluruhan blog hanya bersandar pada sebagian kecil dari kolom-kolom tersebut.
Bagi orang yang
mendemonstrasikan amarahnya, men-DO-kan diri dari ketidakcocokan sebuah ideologi, atau
menolak kengerian pada rutinitas, barangkali kolom memang wacana yang tepat
untuk melukiskan rasa dan karsanya. Keleluasaan yang diberikan oleh kolom
bertemu dengan latar belakang penulisnya yang memuja versi lain dari kebebasan fana.
Ada yang menggunakan pedang keilmuan, ada yang menggunakan pedang politik, bahkan
seringkali ada yang mencampur keduanya. Namun tetaplah seorang penulis secara
disadari maupun tidak, telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang aktor
terdepan yang memberikan kesaksian bagi kepedihan. Semua memiliki pedangnya
masing-masing untuk memperoleh kemerdekaan menurut versinya masing-masing. Tetapi, saya tidak sedang membahas tentang kegunaan blog.