Jika aku tidak memikirkannya, mungkin ponsel
ini akan berdering. Terkadang hal itu bisa terjadi. Kalau saja aku bisa
memikirkan hal lain. Kalau saja aku bisa memikirkan hal lain… Oh, berderinglah.
Kumohon.
Ini kali
terakhir aku akan menatap jam di dinding. Aku takkan meliriknya lagi. Sekarang
sudah pukul sepuluh malam lewat tujuh. Katanya dia akan menelepon pukul lima.
“Aku akan meneleponmu pukul lima, sayang.” Kalau tidak salah dia ada menyebut
kata ‘sayang’ dalam kalimat itu. Aku yakin dia mengatakannya. Aku yakin benar
dia memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dua kali, dan yang satu lagi dia
gunakan saat ia akan berangkat ke kantor. “Aku berangkat kerja, sayang.” Dia
sedang sibuk dan tidak bisa bicara banyak di kantor, tapi ia memanggilku dengan
sebutan ‘sayang’ dua kali. Pasti dia takkan keberatan kalau aku yang
meneleponnya.
Aku tahu wanita tidak seharusnya meneror
pria terus-terusan lewat telepon – aku tahu dia sangat tidak suka jika diteror
seperti itu. Karena dengan begitu dia akan merasa bahwa aku memikirkannya dan
menginginkannya dan hal itu bisa membuatnya muak terhadapku. Tapi sudah lima
hari ini aku tidak berbicara dengannya. Tidak sedikit pun. Dan aku cuma ingin
menanyakan kabarnya saja, kok. Siapa saja bisa melakukan hal itu. Tentunya dia
tidak keberatan,kan? Aku tidak mengganggu kan? “Tentu saja tidak,” katanya.
Lalu dia bilang dia akan meneleponku. Dia tidak perlu mengatakan itu. Aku juga
tidak memintanya untuk mengatakan itu, Sungguh. Aku pikir mustahil dia berjanji
meneleponku, lalu mengingkari janjinya sendiri tanpa sebab. Tolonglah, Tuhan.
Jangan sampai dia mengingkari janjinya.
Dia memanggilku
dengan sebutan ‘sayang’ dua kali. Itu hakku. Aku berhak mengingat itu, meski sementara
waktu aku tidak bertemu dengannya. Oh, tapi itu tidak ada apa-apanya. Itu saja
tidak cukup. Tidak ada yang akan pernah mencukupi kekosongan yang ada dalam
dada jika aku tidak bertemu dengannya. Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya,
Tuhan. Tolonglah, aku sangat menginginkannya. Aku sungguh menginginkannya. Aku
janji akan jadi orang baik-baik, Tuhan. Aku akan mencoba untuk jadi orang yang
lebih baik, sungguh, kalau Kau mengijinkanku untuk bertemu lagi dengannya.
Kalau Kau mengijinkannya untuk meneleponku.
Ah, jangan
biarkan doaku terasa ringan dan tak berarti bagi-Mu, Tuhan. Engkau duduk di
atas sana, dikelilingi oleh para malaikat dan bintang-bintang, jauh dari polusi
kehidupan, dan aku justru datang kepada-Mu untuk mengadu tentang sebuah panggilan
telepon. Ah, jangan tertawa, Tuhan. Kau tidak tahu seperti apa siksaan ini. Kau
begitu nyaman di singgasana-Mu, di atas awan yang menggantung di atas langit
biru. Tidak ada yang bisa menyentuh-Mu; tidak ada yang bisa meremas hati-Mu
seperti ini. Inilah penderitaan, Tuhan. Penderitaan tiada tara. Sudikah Engkau
membantuku? semoga ponselku berdering sekarang juga.
Aku harus
berhenti melakukan ini. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Misalnya seorang pria
berjanji untuk menelepon gadis pujaannya, lalu sesuatu hal terjadi yang
mencegah pemuda itu untuk menepati janjinya. Terus kenapa? Tidak ada salahnya,
kan? Hal yang sama mungkin terjadi di seluruh dunia pada saat ini. Tapi persetan!!
Kenapa ponselku masih belum berdering? Dasar benda jelek tak berguna. Aku akan
membantingmu sampai hancur.
Tidak, tidak,,.
Aku harus berhenti. Aku harus berusaha memikirkan hal lain. Ini yang akan
kulakukan. Aku akan memindahkan jam dinding ke dalam lemari agar aku tidak bisa
melihatnya terus-terusan. Kalau aku harus melihatnya, maka aku harus masuk ke
dalam lemari dan mungkin saja berujung ke negeri Narnia dan dengan begitu aku
ada sedikit kegiatan. Mungkin dia akan meneleponku. Aku akan berbicara dengan
lembut dan manis jika dia meneleponku. Kalau dia bilang dia tidak bisa bertemu
denganku malam ini, aku akan berkata, “Oh, tidak apa, sayang. Tentu saja
boleh.” Aku akan bersikap semanis saat pertama aku bertemu dengannya. Mungkin
dengan begitu ia akan semakin menyukaiku. Gampang sekali rasanya bersikap manis
sebelum aku jatuh cinta.
Tapi kurasa
pasti dia selalu menyukaiku. Dia tidak mungkin memanggilku dengan sebutan
‘sayang’ dua kali di hari ini jika dia tidak menyukaiku sedikitpun. Kalau dia
masih suka padaku, bahkan sedikit saja, maka aku masih punya harapan.
Apa Engkau
menghukumku, Tuhan, atas kelakuanku yang buruk? Apa Engkau marah terhadapku
karena kelakuanku? Tapi kan masih banyak orang di luar sana yang berperilaku
buruk juga – Engkau tidak mungkin hanya marah terhadapku. Lagipula aku tidak
mungkin bersikap terlalu buruk; tidak mungkin. Kami tidak merugikan
siapa-siapa, Tuhan. Buruk tidaknya perbuatan manusia kan dinilai dari apakah
perbuatan itu merugikan orang lain. Kami tidak merugikan seorang pun; Kau tahu
itu. Kau tahu perbuatan kami tidak terlalu buruk kan, Tuhan? Bisakah Kau
mendorongnya untuk meneleponku sekarang?
Bisa saja dia
telat meneleponku – aku tidak perlu bertingkah berlebihan. Mungkin dia tidak
akan meneleponku – dan langsung datang kemari tanpa meneleponku terlebih dahulu,
seperti yang sudah-sudah. Dia pasti kesal kalau dia melihat mataku sembab habis
menangis. Dia tidak pernah menangis dan marah di depanku. Aku berharap aku bisa
membuatnya menangis dan mencakar lantai dan merasakan hatinya begitu besar dan
berat dan membusuk dalam tubuhnya. Aku berharap aku bisa melukainya.
Dia tidak
mengharapkan hal yang sama untukku. Aku rasa dia bahkan tidak sadar bagaimana
perasaanku terhadapnya. Kuharap dia tahu perasaanku terhadapnya tanpa perlu
kuumbar.
Mungkin itu yang sedang dia lakukan.
Mungkin dia sedang menuju kemari tanpa meneleponku lebih dulu. Mungkin dia
sedang dalam perjalanan. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi padanya, Aku
tidak bisa membayangkannya. Aku tidak bisa membayangkan dia ditabrak dan
terbaring di atas jalan dalam keadaan mati. Kuharap dia mati. Itu pengharapan
yang sungguh menyedihkan. Itu pengharapan yang menyenangkan. Kalau dia mati,
dia akan jadi milikku. Kalau dia mati, aku tidak perlu memikirkan saat ini atau
beberapa minggu sebelum ini. Aku hanya akan mengingat saat-saat bahagia kami.
Semuanya indah. Kuharap dia mati. Kuharap dia mati, mati, mati.
Konyol sekali.
Betapa konyol mengharapkan dia mati hanya karena tidak meneleponku di saat telah
janji untuk meneleponku. Mungkin jamku berdetak terlalu cepat; aku bahkan tidak
tahu apakah jamku benar. Mungkin dia tidak terlambat sama sekali. Apa saja bisa
membuatnya terlambat. Mungkin dia harus lembur di kantor. Mungkin dia pulang ke
rumahnya dan akan meneleponku dari rumah. Mungkin dia tidak suka meneleponku di
depan orang lain. Mungkin dia khawatir, sedikit saja, karena sudah membuatku
menunggu. Atau dia mungkin berharap aku yang akan meneleponnya. Aku bisa
melakukan itu. Aku bisa meneleponnya.
Tidak boleh,
jangan sampai aku yang meneleponnya. Cegah aku supaya tidak melakukan itu. Aku
tahu, Tuhan, seperti Kau juga tahu, bahwa jika dia khawatir terhadapku, maka
dia pasti meneleponku di mana pun dia berada, meski ada orang banyak di
hadapannya. Tolong sadarkan aku akan hal itu, Tuhan. Aku tidak meminta-Mu untuk
memudahkan semuanya untukku. Biarkan aku tahu betapa besar perhatiannya padaku.
Tolong, Tuhan,
jangan biarkan aku yang meneleponnya. Kumohon.
Lagipula apa masalahku
sekarang? Ini masalah kecil, tidak perlu sampai terlalu meributkannya. Aku
mungkin sudah salah mengartikan dia. Mungkin dia bilang aku harus meneleponnya
kembali pada pukullima. “Telepon aku pukul lima, sayang.” Mungkin saja dia mengatakan
hal itu dan aku tidak mendengarnya dengan baik. “Telepon aku pukul lima,
sayang.” Aku nyaris yakin itu yang dia katakan tadi. Tuhan, jangan biarkan aku
bicara pada diriku sendiri seperti ini. Sadarkan aku, Tuhan,
Aku akan
memikirkan hal lain. Aku akan duduk tenang. Kalau aku bisa duduk tenang. Kalau
aku bisa duduk tenang. Mungkin aku bisa membaca. Oh, semua buku menceritakan
betapa besar cinta orang-orang terhadap satu sama lain – cinta suci dan tulus.
Buat apa ditulis hal-hal seperti itu? Tidakkah mereka tahu hal itu tidak nyata?
Tidakkah mereka tahu hal itu hanya murni dusta semata? Demi Tuhan! Buat apa
bercerita tentang cinta jika hal itu hanya akan membuahkan sakit hati saja?
Aku tidak akan
melakukan itu. Aku akan diam saja. Tidak ada yang perlu diributkan. Kenapa aku
tidak bisa berlaku santai dan natural hanya karena aku mencintainya? Aku bisa
berlaku santai dan natural. Sunggu, aku bisa. Aku akan meneleponnya dan dengan
mudah berbicara dengannya.
Tuhan, apa Kau benar tidak sudi
mendorongnya untuk meneleponku? TUHAN, tolonglah, semoga dia meneleponku
sekarang. Tuhan, semoga dia meneleponku sekarang. Permintaanku tidak terlalu
berlebihan, kan? Aku hanya minta hal yang sangat, sangat kecil dari-Mu. Semoga
dia meneleponku sekarang. Tolonglah aku, Tuhan. Aku memohon kepada-Mu.
I truly am waiting for your call,, indeed ;)
BalasHapusdari dulu kamu selalu bisa memahami wanita
BalasHapus