Jumat, 20 Januari 2012

Harga Manusia

Beribu kali mendengar apa yang disebut dengan manusia mekanik, sekrup, onderdil, hantu rutinitas yang labil. Tapi kalau melihat, apalagi mengalami sendiri, Anda akan mengerti apa artinya jiwa yang tak sempat bernafas. Di situ makna tertinggi kemerdekaan tersingkap dari rok yang berkibar. Membayangkan kebebasan itu siksaan, membayangkan penjara itu orgasme tersendiri.

Mungkin Anda hanya harus duduk dan menatap layar komputer selebar bahu. Begitu ringannya pekerjaan itu, tetapi satu dua jam saja cukup untuk mengerti apa arti neraka, apalagi ketika sebagian mulai naik pitam dan mempertanyakan kemampuan otak Anda. Atau Anda cukup mengontrol gerak beberapa orang agar tidak ‘anarkis’ keluar dari barisan, maka jadilah Anda pemain silat yang lihai sepanjang hari.

Di dalam derap rutinitas yang labil, seakan tak ada ruang sejengkal pun untuk mengganti suplai udara ke paru-paru dan napas bagi jiwa. Anda tidak tahu dimana sebenarnya Anda berada selama dua belas jam sehari itu. Dan kalau itu harus berlangsung sepanjang hidup, 30tahun masa dewasa dan usia baya, Anda bisa gila. Liburan, bir, film porno, musik bising yang menenangkan dirasa amat penting. Di masa tua Anda akan menjadi bijak atau terus mengomel sendiri sepanjang perjalanan pulang, bertambahnya usia akan menumpukkan ancaman.

Orang terlanjur terlau jauh membebaskan diri dari ‘neraka yang lain’. Individu disebut sedemikian rupa sampai pada taraf yang membuat semua orang kaget tercengang – bahwa sesungguhnya banyak bagian dari dirinya yang justru ditemukan pada orang lain. Santunan kepada individu tidak diserahkan kepada manusia tetapi kepada sistem sosial- yang kini semakin anggun, mewah, dan berperingkat tapi tak mampu menyodorkan kehangatan. Maka makin tua, Anda akan makin cemas; bukan kelaparan atau mati kedinginan tapi akan selalu termangu dan bertanya:

Untuk siapa dan apa gerangan aku bekerja keras hampir sepanjang hidup, jika akhirnya harga manusiaku makin sayup dari keberadaanku?

Barangkali itu salah satu alasan orang bisa patah hati pada model kemakmuran itu. Dengan kemakmuran orang sesungguhnya membayangkan suatu wadah dan energi untuk kehangatan dan cinta kasih tapi yang terjadi adalah suatu bangunan besar kesejahteraan yang memojokkan. Manusia hilang, sesudah dipertarungkan dengan sistem bagaimana megorganisasaikan kerja dan sumber dayanya, hubungan produksi dan kapasitas produksi, saling silang supply dan demand, kini sejarah terus ditantang oleh komplikasi kinerja, penilaian kinerja, dan upah kinerja.

Selalu ada yang sangat makmur, yang makmur, agak makmur, dan jauh dari kemakmuran, sementara pemerataan itu bayangan yang tak jelas sosoknya. Untuk siapa gerangan aku bekerja keras? Jika rabun-tidaknya mataku, jika tenaga tubuh dan keterampilan tanganku diukur persis nilai kapasitas produksinya, laju kebugaran yang menurun semakin dipercepat dengan boncengan laju kebahagiaan, momentum tumbukannya terlalu liar.

Tapi jangan bayangkan surga karena ada sekelompok kecil manusia yang hanya bisa lahir dai kejenuhan rohaniah terhadap gemerlap disekitarnya. Lalu seperti apakah keluhuran nilai yang diharapkan?

Sebentar lagi, giliran naga air yang menjawab..

Kamis, 19 Januari 2012

Berawal dari Armoury Road

Tulisan ini mencoba sedikit menceritakan divisi sepedamotor dari sebuah pabrik bernama Birmingham Small Arms Company LimitedBSA yang merupakan kelompok usaha manufaktur senjata api militer, sepedasepeda motormobilbus, karoseri, rangkabesi,  pembangkit listrikperalatan mesin, dan proses hard chromePada puncaknyaBSA merupakan produsen sepeda motor terbesar di dunia.

 Sesuai namanya yang mengandung unsur Birmingham dan Army, BSA berlokasi di Armoury Road, Small Heath, Birmingham distrik B11BSA  pertama kali buka pada 1863 dan memproduksi 20.000 senjata pesenan tentara Turki. Tahun 1880 mereka mulai membuat alat transportasi roda dua yang kita sebut Sepeda Pancal/Onthel. Kebanyakan pabrik sepeda motor memang membuat sepeda dulu. BSA mulai bereksperimen membuat sepeda motor pada tahun 1905. Waktu itu BSA masih identik dengan pabrik senjata api karena pesanan senjata api-nya 1200 unit per-minggu.



Tahun 1909, setelah bereksperimen selama 4 tahun dengan konsep sepeda motor-nya, akhirnya BSA mulai memproduksi speda motor selain tetap memproduksi sepeda engkol/pancal/onthel dan senjata api. BSA juga membuat mobil tapi mobil-mobil mereka tidak masuk ke Indonesia, seperti kebanyakan mobil Inggris tahun 1933, mobil BSA tipikal mobil sedang beroda 3, namanya BSA 3 Wheeler pada 1939.

Kembali ke motor BSA. Motor BSA pertama kali adalah BSA dengan tenaga 3.5hp dan dipamerkan di Olympia Show, tanggal 21 Oktober 1910. Perlu diingat sepeda dengan mesin yang disebut sepeda motor merupakan benda ajaib titisan para dewa (bagi orang barat sekalipun), karena itu adalah sepeda dimana penggunanya tidak perlu mengengkol untuk bisa menjalankannya.

Tahun 1928, BSA sudah memproduksi sepeda motor 2tak, A28-dengan 2 percepatan, tahun 1929 dan 1930 A28 digantikan dengan A29 dan A30 yang cuma ganti nama tapi motornya sama aja. Tahun 1931, keluar BSA 2tak model baru, A31 yang punya 3 percepatan. Sayangnya tipe-tipe ini tidak banyak diproduksi, diperkirakan cuma prototype-nya saja yang dibuat. Tapi seri 2tak ini merukapakna nenek moyang BSA Bantam. Tercatat BSA Bantam Bushman tahun 1969-1973 adalah BSA Bantam paling kenceng, maks speed motor 175cc 65mph atau sekitar 105 mph, kalah jauh sama prototype Yamaha RX-135 (masuk Indonesia jadi  RX-King) yang jadi eksperimennya Yamaha Jepang, walaupun cuma 135cc, tapi bisa ngebut sampai 130km/jam.

BSA yang jadi legenda hidup di dunia barat adalah BSA GoldStar. Berawal pada tahun 1937, seorang pembalap Inggris bernama Wal L. Handley berhasil ngebut dengan BSA Empire Star korekan  sampai 100mph (160km/h) dan mendapat medali bintang dari emas (disebut GoldStar) terinspirasi kejadian itu BSA membuat motor super kencang pada tahun 1937-1963. Selain Norton Manx dan Triumph Tiger, BSA Goldstar juga terkenal sebagai motor kencang di tahun 1950-an. Satu-satu-nya motor suksesor BSA Gold Star series ini adalah BSA B50 yang dibuat dari tahun 1971-1973 (tahuh 1973 BSA bisa dibilang bangkrut).

Kapan BSA masuk Indonesia?
Buku pelajaran sejarah waktu SMA lupa mencatat atau mungkin tidak mencatat bahwa tentara NICA yang mendarat ke Indonesia membawa BSA-BSA mereka ke Indonesia. Saat NICA yang di-boncengi Belanda pulang ke negara asal-nya (setelah perundingan-perundingan), mereka meninggalkan BSA nya di Indonesia. Sama seperti para tentara bule Amerika di Filipina yang juga meninggalkan mobil Jeep mereka di Filipina saat pulang ke Amerika. Setelah ditinggalkan, waktu itu tidak ada suku cadang motor BSA (jangankan jaman dulu, jaman sekarang aja onderdil motor BSA jg masi susah!!), akibatnya BSA-BSA itu terlantar dipinggir jalan dan teronggok di gudang-gudang.

Pada 1958, orang orang dari Siantar, Sumatra Utara, berburu BSA ke pulau Jawa, tepatnya di kota Surabaya, Semarang, dan Jakarta, sebagai kota bandar, tentu dulunya banyak tentara sekutu patroli pake BSA disana. Kemudian sepedamotor BSA itu ber-transmigrasi ke Siantar dengan naik kapal Tampomas II yang sudah tenggelam tahun 1981. Sejak saat itu pula BSA mulai di custom jadi becak Siantar sampai saat ini dilestarikan sebagai cagar budaya.


Kalau rusak gimana?
Becak Siantar Turun Mesin
Memang pabrik BSA sudah lama tutup, untungnya orang Indonesia adalah orang kreatif, maka onderdil motor jepang dikanibalkan di becak BSA. Apalagi di masa itu belum kenal internet dan berinteraksi dengan negara lain. Seperti karburatornya Kawasaki Binter atau Suzuki TS bisa dipake di BSA. Begitupun parts/accesories lain yang dibuat tiruan menyerupai aslinya –dengan agak dipaksakan-. Kata para sesepuh, BSA yang jadi becak Siantar itu tipe B31, B32 Goldstar, B40 350cc/500cc, dan banyaaakk lagi seri lain.

Sekian dulu...


 


 

Selasa, 10 Januari 2012

Bukan Pasar Malam

Sampai kini masih ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kondisi sosial budaya Indonesia masih dicirikan oleh: (1) atmosfer kebijakan kerakyatan yang sarat basa-basi politik; (2) birokrasi yang terkadang hipokrit; dan (3) predikat negara korup (sebagian orang itu yg mana?). Wajarlah kalau republik ini diminta memulihkan citra, reputasi, dan daya-angkatnya terhadap martabat rakyat. Bukan kebijakan apabila negara membiarkan rakyatnya hidup dalam suasana yang diliputi kesukaran, penindasan, dan bencana. Dilihat dari sudut pandang geopolitik dan dominasi ekonomi negara maju, Indonesia dikategorikan sebagai Negara Selatan, negara yang sedang berkembang atau Dunia Ketiga. Kategori tersebut menurut Pramoedya Ananta Toer, merupakan pengganti istilah negeri miskin!

Masalah kemiskinan bukan hanya menimpa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan tetapi masalah ini juga pernah dirasakan oleh negara-negara maju. Perbedaannya untuk negara-negara maju kemiskinan pada umumnya lebih sering menimpa pada para imigran. Sedekar contoh, Inggris dan Amerika Serikat pernah dihadapkan pada masalah ini. Inggris pernah mengalami kemiskinan-nasional di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.

Sementara itu Amerika Serikat sebagai negara maju juga pernah dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa resesi ekonomi tahun 1930-an. Bahkan, tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan, Amerika Serikat juga telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau 1/6 dari jumlah penduduknya tergolong miskin.

Apabila dirunut berdasarkan akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan, maka kemiskinan dapat dibegi menjadi empat dimensi, yakni (i)dimensi mikro: kemiskinan akibat mentalitas materialistic dan ingin instan, (ii)dimensi mezzo: kemiskinan akibat melemahnya social trust, (iii)dimensi makro: kemiskinan akibat kesenjangan pembangunan, dan (iv) dimensi global: kemiskinan karena adanya ketidakseimbangan relasi antara negara maju dengan negara selatan?. Sementara itu di Indonesia masalah kemiskinan nampaknya masih terus menjadi “momok”. Meski laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 meningkat, namun laju pengangguran juga meningkat.

Pertumbuhan ekonomi itu apa?
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah sama dengan pertumbuhan PDB. Apabila “diibaratkan” kue, PDB adalah besarnya kue tersebut. Pertumbuhan ekonomi sama dengan membesarnya “kue” tersebut yang pengukurannya merupakan persentase pertambahan PDB pada tahun tertentu terhadap PDB tahun sebelumnya. PDB disajikan dalam dua konsep harga, yaitu harga berlaku dan harga konstan; dan penghitungan pertumbuhan ekonomi menggunakan konsep harga konstan (constant prices) dengan tahun dasar tertentu untuk mengeliminasi faktor kenaikan harga. Saat ini BPS menggunakan tahun dasar 2000. Nilai tambah juga merupakan balas jasa faktor produksi (tenaga kerja, tanah, modal, dan entrepreneurship) yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi yang dihitung dari PDB hanya mempertimbangkan domestik, yang tidak mempedulikan kepemilikan faktor produksi.

Berikut ini data PDB dengan berbagai turunannya.
Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (Tahun 2007–Semester I 2011)
Ekonomi Indonesia selama tahun 2007–2010 mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 6,3 % (2007), 6,0 % (2008), 4,6 % (2009) dan 6,1 % (2010) dibanding tahun sebelumnya. Sementara pada semester I tahun 2011 bila dibandingkan dengan semester II tahun 2010 tumbuh sebesar 2,2 % dan bila dibandingkan dengan semester I tahun 2010 (y-on-y) tumbuh sebesar 6,5 %.

Angka-angka tersebut diperoleh dari penerapan rumus di samping  ke dalam besaran PDB tahun 2006-2009 serta semester I tahun 2010 atas dasar harga konstan 2000.



Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha (Tahun 2007–Semester I 2011)
Distribusi PDB menurut sektor atau lapangan usaha atas dasar harga berlaku menunjukkan peran sektor-sektor ekonomi pada tahun tersebut. Tiga sektor utama: sektor pertanian, industri-pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran mempunyai peran lebih dari separuh dari total perekonomian yaitu sebesar 55,8 % pada tahun 2007, 56,3 % (2008), 54,9 % (2009) dan 53,9 % (2010) serta 53,4 % pada semester I tahun 2011. Pada tahun 2010 sektor industri-pengolahan memberi kontribusi terhadap total perekonomian sebesar 24,8 %, sektor pertanian 15,3 %, dan sektor perdagangan-hotel-restoran 10,3 %; sama halnya pada semester I tahun 2011 komposisi ini tidak berubah yaitu sektor industri pengolahan sebesar 24,2 %, sektor pertanian 15,5 %, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran 10,1 %

Pertumbuhan PDB Menurut Penggunaan (Tahun 2007–Semester I 2011)
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari sisi pengeluaran, pada tahun 2007 hingga semester 1 tahun 2011 selalu menunjukkan pertumbuhan positif kecuali ekspor dan impor barang dan jasa yang mengalami pertumbuhan yang negatif pada tahun 2009. Pada tahun 2010, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,6 %, konsumsi pemerintah sebesar 0,3 %, pembentukan modal tetap bruto sebesar 8,5 %, ekspor barang dan jasa sebesar 14,9 % dan impor barang dan jasa sebesar 17,3 %. Pertumbuhan ekonomi sampai dengan semester I tahun 2011 juga menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan ekonomi semester I tahun
2011 terhadap semester I tahun 2010 (y-on-y) meningkat sebesar 6,5 %. Peningkatan tertinggi terjadi pada komponen pembentukan modal masing-masing sebesar 15,8 %, 14,9 %, dan 8,3 %. Sumber pertumbuhan terbesar semester I tahun 2011 dibandingkan dengan semester I 2010 berasal komponen ekspor barang dan jasa sebesar 6,6 %

Struktur PDB Menurut Penggunaan (Tahun 2007–Semester I 2011)
Dilihat dari distribusi PDB penggunaan, konsumsi rumah tangga masih merupakan penyumbang terbesar dalam penggunaan PDB Indonesia; yaitu sebesar 63,5 % (2007), 60,6 % (2008), 58,7 % (2009) dan 56,7 % (2010) serta 54,9 % pada semester I tahun 2011. Komponen penggunaan lainnya yang cukup berperan yaitu pembentukan modal tetap bruto. Pada tahun 2007 peranan pembentukan tetap bruto sebesar 25,0 % dan meningkat lebih tinggi menjadi 32,2 % pada tahun 2010 dan 31,5 % pada semester I tahun 2011.

PDB dan Produk Nasional Bruto (PNB) Per Kapita Tahun 2007–2010.
PDB/PNB per kapita adalah PDB/PNB (atas dasar harga berlaku) dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Selama tahun 2007–2010 PDB per kapita terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 sebesar Rp17,4 juta (US$1.922,0), tahun 2008 sebesar Rp21,4 juta (US$2.245,2), tahun 2009 sebesar Rp23,9 juta (US$2.349,6), dan tahun 2010 sebesar Rp27,0 juta (US$3.004,9). Demikian juga, PNB per kapita juga terus meningkat selama tahun 2007–2010. PNB per kapita pada tahun 2007 sebesar Rp16,7 juta (US$1.843,1) meningkat menjadi Rp26,3 juta (US$2.920,1) pada tahun 2010.

Bagaimana dengan yang miskin?
Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 %), turun 0,13 juta orang (0,13 %) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 %). Selama periode Maret 2011–September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011). persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23 %, menurun sedikit menjadi 9,09 % pada September 2011. Penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2011 sebesar 15,72 %, juga menurun sedikit menjadi 15,59 % pada September 2011.


Ada beberapa hal yang perlu dicermati mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja yang tinggi. Akibatnya belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia masih terkonsentrasi di daerah-daerah di Jawa, mungkin sebagian Sumatera, dan beberapa kota besar lainnya, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi ini tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dengan demikian akan berdampak pada pemberdayaan masyarakat setempat.

Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan bisa jadi seperti kontrasnya pasar malam dan upah para pekerjanya. Paradoks tadi mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dialami selama ini masih bersifat semu. Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan necessary condition bagi pengurangan kemiskinan. Nampaknya terdapat syarat lainnya yang belum dipenuhi, yakni sufficient condition. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus efektif mengurangi kemiskinan.

Trus solusinya bagaimana?
-entahlah!!-



Sumber:
 APBN 1997-2011 dan Data BPS

Rabu, 04 Januari 2012

Survey Ketonggeng


Saat ini makin tak jelas yang mana, apa dan siapa ketonggeng. Ini gara-gara ia terlalu banyak disebut-sebut. Mula-mula, seperti binatang lainnya, nama ketonggeng dihafal sejak di sekolah TK. Dideklamasikan, ditulis di setiap buku, dipasang di dinding kelas, bahkan akhirnya ada mata pelajaran khusus mengenai ketonggeng. Sedemikian rupa sehingga menggeser kedudukan binatang besar seperti kambing, lembu bahkan unta. Di luar sekolah, nama ketonggeng bukan main harum dan terkenal. Tak hanya karena dipasang di spanduk atau papan poster di sepanjang jalan, tapi juga berkat namanya dikutip-kutip terus dalam pidato siapa pun. Dari pidato-pidato pekan olahraga, peresmian pabrik tas kulit ular sampai khotbah di masjid dan gereja. Tajuk rencana koran pun rajin menulis ketonggeng. Diumumkan suatu undang-undang perlindungan ketonggeng, yang pendeknya siapa saja melawan ketonggeng bakal menemui kehancurannya sendiri. Para politisi, sosiolog, anthropolog, ahli kimia, sarjana anggrek, doktor sikat gigi sampai alim ulama, tak ada yang ketinggalan menyitir ketonggeng. Ia bahkan menjadi tema drama, dilukis dan dibikin syair lagu yang manis tapi gagah. Ketonggeng menggema di seantero negeri. Meskipun ia asli desa tapi sekaMng ada Ketonggeng Masuk Desa. Ada sepakbola ketonggeng, ayam goreng ketonggeng, padi ketonggeng, alhasil apa saja manunggal dengan ketonggeng. Puncak dari kesemarakan ini hlah penobatan seorang Tuan Ketonggeng Nasional. Cuma lantas ada risiko. Menjadi kabur apakah ketonggeng itu binatang atau tumbuh-tumbuhan ataukah sejenis unsur kimh. Sebab segala sesuatu kini mengidentifikasi diri ke ketonggeng, meskipun memang belum ada RUU Perkawinan ketonggeng atau hukum zina ketonggeng. Karena itu disepakati untuk menyelenggaMkan seminar ketonggeng yang mempertemukan semua ahli. Bisa dipastikan seminar ini tidak saja ramai, tapi juga tinggi mutunya, lebih tinggi dari Gunung Calunggung. Ada sedikit keributan kecil, sebab temyata ketonggeng itu sendiri tidak diundang. Tapi dengan gampang hal itu dibereskan. Cuma yang menjadi puncak acara ialah kenyataan bahwa para ahli itu tak seorang pun yang tahu apa sesungguhnya ketonggeng.

Seminar macet. 
Diputuskan untuk terlebih dulu mengadakan survei. didahului pra-survei, pra-pra-survei dan pra-pra-pra-survei. Baru kemudian Survei, re-survei re-re-survei dan re-re-re-survei. Tapi karena pada ahli itu kesibukannya bukan main bertumpuk, maka survei itu diwakilkan, dan oleh yang mewakili diwakilkan lagi, dan lagi. Namun itu tak penting, juga tak menarik berapa biayanya. Yang mengejutkan ialah kesimpulan survei bahwa yang namanya ketonggeng ternyata tak lain dari para ahli itu sendiri. Ini komedi, tapi juga tragedi. Sebab pada hakikatnya para ahli itu bukanlah ketonggeng. Cuma karena mereka terlampau concern terhadap ketonggeng, dengan bcribu alasan, maka perlahan-lahan mereka menjadi ketonggeno. Ini persis banyak jenis makhiuk lainnya yang juga berubah jadi ketonggeng. Ada yang keketonggengannya berkembang tanpa ia niati dan sadari. Ada yang karena terpaksa karena ini itu, apa boleh buat jadi ketonggeng saja. Ada lagi yang memang punya kecenderungan, jadi dengan mudah menJadi ketonggeng. Kategori yang terakhir ialah mereka yang terang-terangan menumbuhkan bakat keketonggengan. Yakni dengan sengaja menjadi ketonggeng, mengakomodasi dan bahkan menciptakan jaringan sistem model ketonggeng, bikin program ala ketonggeng, menyebarkan 'obat' ketonggeng serta melakukan 'eksplorasi' sistematis tipe ketonggeng. Pasukan ketonggeng pun menjadi begitu kuat, yang formal maupun non-formal. Seluruh negeri dikendalikan oleh eliteelite ketonggeng. Sumber dana tersedia dan diperebutkan. Kreativitas sandiwara ketonggeng sedemikian indah dan nyaring, terutama karena dipentaskan dengan retorika yang cerdas serta lewat media komunikasi yang bermacam bentuknya: suatu sound-system yang menguasai seluruh segi akustik gedung. Yang menyedihkan, atau mungkin malah menggembirakan, ialah kepergian ketonggeng asli yang tanpa pamit. Kabarnya mereka menghilang ke hutan, tempat asal usul mereka. Lenyapnya ketonggeng ini kurang begitu diperhatikan orang. Sebab mereka kini diam-diam sibuk bertanya dalam hati: Lho, saya ini ketonggeng apa bukan ya? Sekarang makin tak jelas yang mana, apa dan siapa ketonggeng....

Selasa, 03 Januari 2012

Ibu Perpustakaan

Sudah sekian tahun -cukup lama memang- dia dalam kedudukannya yang sekarang, dan dia merasa ayem dan mantap. Dia sudah cukup puas dengan pekerjaannya, dengan staf dan seksi yang dia bina. Pekerjaan apa pun, kantor mana pun yang sejenis, tidak luput dari pelbagai permasalahan, terutama kekurangan dana. Namun di pihak lain, dia melihat berbagai rencananya dapat diterapkan juga. Ada kalanya, dengan diam-diam, hatinya dihinggapi rasa bangga. Dan pimpinannya begitu baik. Pada suatu hari atasan yang baik itu, dengan segala kemurahan hati, mengingatkannya bahwa kenaikan golongannya sudah perlu diurus. Jangan ditunda-tunda lagi. Semua persyaratan sudah mencukupi. Konduitenya begitu baik dan kemampuannya--kemampuan memimpin dan kemampuan akademis - jelas di atas rata-rata. Dua tahun yang begitu panjang dia melanjutkan studi di luar negeri, meninggalkan anak dan suami, mendapatkan gelar M.A. dalam bidang perpustakaan dari sebuah universitas yang terkemuka, lalu kembali ke Tanah Air dengan hasil yang gemilang. Dua gelar kesarjanaan, dari dalam dan luar negeri, sudah mengapit namanya. Di atas semuanya itu, memang dicintainya profesi itu. Dia pikir, bangsa yang menghargai penalaran, harus menghargai perpustakaan. Jantungnya di situ. Pada berbagai instansi di Indonesia, perpustakaan termasuk satu seksi dari para Tata Usaha. Di situlah tragedinya. Tragedi struktur organisasi. Tragedi penalaran. Kepala perpustakaan tidak berdiri sendiri, tidak dibuat sederajat dengan Tata Usaha. Ia tidak langsung di bawah pimpinan. Berbagai rapat yang penting tentang perpustakaan tidak dihadiri oleh kepala perpustakaan.

Dalam perkembangannya, seksi perpustakaan menjadi tempat buangan pegawai. Kalau ada pegawai yang dianggap kurang beres, suka bertingkah, wataknya kurang beres atau otaknya kurang, terminalnya di perpustakaan itu. Semacam limbah. Sebaliknya, kalau ada sesuatu yang perlu diambil, ambil sajalah dari perpustakaan. Percaya atau tidak, ada kepala perpustakaan yang tidak tahu apa-apa tentang perpustakaan dan tidak tertarik dalam soal perpustakaan. Soalnya, ada pegawai yang perlu diberi kedudukan, maka sesudah lewat berbagai pertimbangan yang bijaksana, dyadikanlah dia kepala perpustakaan. Kesasarlah dia ke sana tetapi menjadi lebih terhormat.

Percaya atau tidak, ada perpustakaan yang cukup besar yang buku-buku koleksinya belum dikatalog. Hanya ada lemari katalog yang anggun di tengah ruangan, tanpa berisi kartu pengarang buku, kartu judul buku, apalagi kartu indeks. Begitu banyak kisah yang memilukan tentang perpustakaan di negeri ini. Kisah proses pembelian buku yang cukup rumit. Uang yang datangnya terlambat lalu perlu dibelanjakan dengan terbirit-birit. Hangus kalau lewat waktunya. Untuk menghabiskan dana yang sedikit itu, adakalanya harus dibeli buku-buku yang kurang atau tidak diperlukan. Kiriman dari luar negeri dipajaki pula, meskipun itu hadiah. Runyam. Buku-buku yang sudah dipinjam bertahun-tahun lalu tidak dikembalikan lagi. Jumlahnya tidak sedikit. Staf perpustakaan tidak berani menagih dan memperingatkannya. Nanti konduite menjadi merosot. Ada perpustakaan yang tidak mampu membalas surat-surat lantaran tidak ada dana untuk prangko. Tata Usaha miskin, lantas anaknya, seksi perpustakaan, lebih miskin lagi. Ada kisah yang tersendiri perihal perpustakaan yang banyak kehilangan kursi. Tinggal sederetan meja kesepian yang tersisa. Ceritanya, jika staf baru kekurangan kursi, diambillah kursi dari perpustakaan.

Ibu kepala perpustakaan kita ini hanya bisa mengelus dada -yang sudah agak kendor karena ironi yang dihadapinya- . Berbagai masalah tersebut dapat dia atasi berkat ketangkasannya dan juga minat atasannya yang besar terhadap perpustakaan. Apa yang bakal terjadi kalau dia naik pangkat? Kalau dia naik pangkat, naiklah eselonnya: kenaikan itu otomatis diiringi oleh berbagai fasilitas yang menggiurkan. Kebetulan ada hak atas rumah, yang akan lebih besar daripada flat yang dia tempati sekarang. Lalu ada hak atas kendaraan roda empat beserta seorang sopir yang juga bisa disuruh ini itu untuk memperlancar urusan rumah tangga. Bisa antar jemput anakanak. Pendapatan jelas bertambah. Namun, dia sudah memutuskan tidak naik pangkat. Tidak. Dia sudah merasa ayem dan mantap sebagai kepala perpustakaan saja. Naik pangkat berarti memimpin bermacam-macam seksi yang tidak dia kuasai permasalahannya. Lebih terhormat memang, dan lebih gengsi. Tapi ia terpental dari seksinya, dari bidang yang seluk-beluknya betul-betul dia kuasai. Seksi yang begitu vital bagi bangsa yang menghargai penalaran. Terpental dari pekerjaan yang dinikmatinya. Terpental dari keahliannya sendiri. Sekali lagi tidak. Tidak usah naik eselon. Hatinya tidak tergoyahkan oleh rumah, mobil dan embel-embel yang lainnya itu. Dia tidak mau terseret menjadi makhluk kesasar tapi terhormat...
Ahh,, masa iya?


-pramuditya.kurniawan-